REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sultan Hamengku Buwono X menemui Presiden Joko Widodo terkait dengan masa jabatannya sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang akan habis pada 2017. "Saya kan habis masa jabatan 10 (Oktober), jadi itu saja. Surat (verifikasi DPRD Yogyakarta) sudah selesai," kata Sultan Hamengku Buwono X di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (13/9).
Pada 2 Agustus 2017, DPRD DIY melalui Rapat Paripurna Istimewa kembali menetapkan Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY periode masa jabatan 2017-2022 serta menetapkan Adipati Kadipaten Pakualaman Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam X sebagai Wakil Gubernur DIY. Penetapan itu sesuai dengan UU Keistimewaan DIY yang menyebutkan Gubernur dan Wagub DIY diisi oleh Raja Keraton Yogyakarta yang bergelar Sultan Hamengku Buwono. Sedangkan jabatan Wagub DIY diisi oleh Adipati Kadipaten Pakualaman yang bergelar Adipati Paku Alam.
Setelah pengesahan akan dilanjutkan dengan pelantikan Gubernur dan Wagub DIY yang diperkirakan akan jatuh pada 13 Oktober 2017. Terkait dengan putusan hasil uji materi MK pada 31 Agustus 2017 tentang Pasal 18 Ayat (1) huruf m UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang menyatakan "calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: mmenyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain, riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat", juga menurut Sultan tidak ada kaitannya dengan pelantikan sebagai Gubernur nanti.
"Tidak ada hubungannya, itu kan kepentingan internal kemarin, eksternal tidak ikut campur," tambah Sultan. Ia yakin hal itu tidak akan menimbulkan masalah. "Tidak masalah," tegas Sultan.
Menurut MK, rumusan Pasal 18 Ayat (1) Huruf m UU KDIY mengandung pembatasan terhadap pihak-pihak yang statusnya tidak memenuhi kualifikasi dalam norma a quo untuk menjadi calon kepala daerah yang di dalamnya termasuk perempuan.Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Suhartoyo, dijelaskan bahwa pembatasan tersebut bukan didasari dengan maksud memenuhi tuntutan yang adil, yang didasarkan atas pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, maupun ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.