REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pulau C dan D hasil reklamasi Teluk Jakarta sebesar Rp 3,1 juta per meter persegi. NJOP ini jauh berada di bawah asumsi mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang pernah menyebut di kisaran Rp 10-20 juta.
Kepala Dinas Badan Pajak dan Retribusi (BPRD) DKI Jakarta Edy Sumantri beralasan, jauhnya selisih NJOP yang ditetapkan lantaran hitungannya masih lahan kosong. Sementara asumsi Rp 10-20 juta per meter persegi yang dilontarkan Ahok, menurut Edy, adalah untuk lahan yang sudah ada bangunannya.
"Ini kan masih hamparan kosong. Setelah nanti dibangun per bidang, itu kan pasti ada harga jualnya," katanya di Balai Kota, Selasa (12/9).
Edy mengatakan, nilai sebesar itu telah dihitung lembaga independen yakni Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). KJPP menetapkan NJOP sebesar Rp 3,1 juta didasarkan atas harga perolehan, yakni biaya yang dikeluarkan untuk membentuk objek pajak. NJOP masih bisa berubah dengan adanya pembangunan, infrastruktur di pulau hasil reklamasi tersebut.
"Kalau itu (Rp 10-20 juta) kan sudah dimanfaatkan, sudah dibangun, ada rumahnya, orang belinya berapa, itulah yang jadi dasar NJOP baru," ujarnya.
Menurut Edy, jika sudah ada bangunan di atas lahan tersebut, bukan hanya NJOP yang berubah tetapi juga Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Nantinya ketika sudah dibangun dan sudah ada transaksi riil, itu akan menjadi dasar BPHTB kembali. Lahan kosong saat ini dinilai sementara untuk kepentingan pengelolaan aset.
"Ada surat resmi dari BPAD (Badan Pengelolaan Aset Daerah) meminta menilai NJOP untuk kepentingan aset Pemprov," katanya.
Surat Keputusan NJOP dikeluarkan BPRD atas permintaan BPAD pada 23 Agustus 2017. Pulau 2A atau D sebelumnya telah mendapat sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dari Kantor Pertanahan Jakarta Utara kepada PT Kapuk Naga Indah sebagai pengembang pulau hasil reklamasi tersebut beberapa waktu lalu.
Pembangunan di lahan hasil reklamasi kian menjadi kenyataan setelah penerbitan sertifikat tersebut lantas dilanjutkan dengan pencabutan moratorium pembangunan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.