REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI berencana melakukan digitalisasi buku dalam program e-deposit. Namun, hal ini masih menimbulkam kegamangan di hati sebagian pustakawan.
Menanggapi hal ini, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Rosidayati Rozalina mengatakan program digitalisasi buku tak akan menggeser buku fisik atau perpustakaan klasik atau konvensional. Sebab, baik buku fisik maupun digital memiliki kelebihan yang tak dapat digantikan.
"Buku cetak punya rasa tersendiri dibandingkan buku digital. Ketika bisa menyentuh itu beda. Buku digital punya kelemahan, tidak bisa disentuh, belum kalau terkendala listrik, dan sebagainya. Tapi buku ini lebih ptaktis, bisa dibawa ke mana-mana. Ada kelebihan dan kekurangan. Menurut saya insya Allah tidak akan hilang," kata dia.
Ia menambahkan digitalisasi adalah masalah krusial, terutama terkait konten buku. Dengan adanya buku digital, konten-konten buku yang tidak sesuai dapat lebih ceoat diketahui dan tidak ditampilkan.
"Misal buku anak tapi ada nuansa pornografi atau radikalisme. Kalau dalam bentuk digital, ada kata-kata yang pantas, kalau ketemu kata itu, tidak bisa (diakses). Jadi kalau dalam bentuk soft akan sangat membantu dalam hal seperti itu," kata dia.
Buku digital juga memudahkan penerbit menyediakan konten untuk penyandang disabilitas. Kini pemerintah memberikan syarat bagi penerbit agar menyediakan kopi naskah yang dapat diakses para difabel netra. Jika dibuat dalam bentuk hardfile, ini akan memberatkan terutama dari segi biaya. Namun, jika dalam bentuk digital akan relatif lebih mudah dan murah.
Hal ini terungkap pada diskusi masalah e-deposit di Indonesia International Book Fair (IIBF) 2017. Salah seorang pustakawan yang hadir menanyakan terkait program e-deposit yang kini sedang digarap Perpusnas RI.
"Kalau semua didorong e-digital, saya dukung. Tapi rohnya lain. Ada yang masih suka buku klasik," ujar salah satu pustakawan.
Kepala Perpusnas RI Muh Syarif Bando mengatakan digitalisasi buku mutlak diperlukan. Dari banyak pengguna internet di Indonesia, maksimum hanya 2,5 persen yang mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyebab utamanya, kata Syarif, pangkalan data berbasis digital yang menyediakan informasi tersebut sangat minim di Indonesia.
Kedua, kutipan yang bersumber dari media sosial belum dapat dijadikan sebagai referensi akademik. Karena itu, perlu dilakukan digitalisasi buku, sehingga pembaca dapat berselancar di internet dan mendapatkan referensi yang dapat dikutip.
"Kenapa banyak perpustakaan harus beralih ke digital? Ini sebagai informasi awal saja. Apakah akan tetap konvensional atau digital, kembali ke pembacanya apakah lebih menyukai buku fisik atau konten digital," ujar Syarif.
Ia menjelaskan program digitalisasi buku telah dimulai sejak 17 Agustus 2016. Kini sudah ada 12 ribu judul buku dalam.bentuk digital.
Targetnya, pada 2019 minimum sudah 500 ribu judul buku dapat disajikan dalam bentuk digital. Jumlah ini masih sangat minim dibandingkan jumlah penduduk Indonesia.
Program e-deposit rencananya akan dimulai pada 2018. Tanpa menyebut jumlah pasti, ia menganggap kegiatan ini tak terlalu mengambil porsi besar. Namun, kegiatan ini sangat penting dilakukan.