REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat diminta untuk waspada akan politisasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal terhadap krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya yang terjadi di Rakhine State, Myanmar yang dapat berakibat memicu konflik di dalam negeri sendiri. Apalagi krisis etnis Rohingya ini ‘dibumbui’ isu agama tentunya akan dapat merusak persatuan bangsa kalau tidak disikapi dengan cermat duduk permasalahannya.
“Kita harus bisa mendudukkan persoalan masalah etnis Rohingya ini dengan cermat. Sebenarnya ini kan masalahnya multi konflik atau multi faktor yang sudah lama berkembang. Ada faktor geopolitik, ada faktor sumber daya alam, etnis dan faktor-faktor lainnya,” ujar Peneliti dari Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Adnan Anwar, Jumat (8/9).
Dijelaskan mantan wakil sekjen PB NU ini, masalah konflik etnis Rohingya di Myanmar ini bukanlah konflik agama, meski banyak umat muslim yang menjadi korban dalam kekerasan di Rakhine, Myanmar tersebut.
“Lalu jangan serta merta disimpulkan menjadi konflik antar agama. Ini kan konflik multi faktor, multi sektoral. Jadi kalau ada yang mengatakan ini pembantaian terhadap umat islam sudah pasti tidak benar lah. Masalah ini harus didudukkan yang sebenarnya,” ujar tokoh muda NU ini.
Menurutnya, adanya upaya mobilisasi masyarakat muslim dunia termasuk masyarakat di Indonesia yang menyatakan bahwa konflik di Rakhine ini masalah konflik agama tentunya sama sekali tidak dibenarkan.
“Dan tentunya itu sangat salah sekali. Masyarakat harus lebih cerdas mencermati masalah tersebut dan jangan sampai terprovokasi. Kalau isu masalah agama itu terus dikembangkan bisa-bisa masyarakat kita yang terpecah,” ujarnya.