Sabtu 09 Sep 2017 05:56 WIB

Raya dan Karya, Luruhnya Gelora Bioskop Tua di Padang

Deretan kursi di dalam studio Raya dan Karya kini seringkali kosong

Bioskop Karya, atau Karia, di Padang, Sumatra Barat. Bioskop lokal di Padang mulai ditinggalkan penonton menyusul masuknya jaringan bioskop besar dari Jakarta.
Foto:

Raya dan Karya merupakan bioskop peninggalan Belanda yang masih bertahan. Berdasarkan catatan Mardanas Safwan dkk dalam buku Sejarah Kota Padang, hingga dekade 1970-an masih bertahan tujuh bioskop peninggalan Belanda.

Ketujuh bioskop tersebut adalah Raya yang dulunya bernama Capitol Theatre, Karya yang dulunya Cinema, Satria, Purnama, New Rex Theatre, Padang Theatre, dan Mulia. Satu dekade berikutnya pada 1980-an, jumlah bioskop di Padang melonjak hingga 14 buah, termasuk bioskop Indah di Ulak Karang dan Terandam. 

Kini, tiga dekade setelahnya, hanya dua bioskop tua yang bisa bertahan hidup. Itu pun, keduanya berjuang merebut hati penonton yang semakin hari semakin beralih ke jaringan-jaringan bioskop modern. 

Persoalan penonton menjadi tantangan nomor wahid yang dihadapi pengelola bioskop sejak dulu kala, termasuk Karya dan Raya. Medio 1990-an, sejak industri perfilman Indonesia meredup dan ditambah dengan 'berkuasanya' grup 21, pemain-pemain bioskop lokal di daerah mulai kehabisan napas. Kondisi ini juga terjadi di Kota Padang, di mana perlahan bioskop-bioskop tua bertumbangan. 

Hingga masuk 2000-an, hanya Karya dan Raya yang bisa bertahan. Namun, Karya dan Raya harus berbenah kalau ingin bertahan dalam kompetisi dengan jaringan bioskop modern.

Yolanda mengatakan perbaikan fasilitas, mulai dari sistem tiket hingga kursi, memang menjadi syarat untuk bertahan. “Dulu pernah nonton Jailangkung, saking banyaknya yang nontonnggak kebagian kursi. Terpaksa ngampar di tangga sama penonton lain," ujar ibu muda ini. 

Dedi (25 tahun), seorang pekerja swasta, mengatakan akan sangat disayangkan kalau bioskop Karya dan Raya tak bisa mengimbangi kemauan pasar. Menurut dia, pembenahan menyeluruh perlu dilakukan terhadap fasilitas bioskop-bioskop tua. 

Dedi mengaku mengagumi kondisi gedung-gedung bioskop tua yang masih bisa bertahan hingga saat ini. "Dua bioskop itu bioskop bersejarah di Padang. Renovasi bisa menjadi jalan keluar. Dengan mempertahankan ornamen asli, bioskop-bioskop tua pasti akan diminati kembali. Namun tentu, butuh investor," ujar dia.

Masukan yang disuarakan oleh penonton seperti Yolanda dan Dedi seolah menggambarkan permintaan masyarakat pada umumnya. Padang merupakan Ibu Kota provinsi yang relatif besar. Sejumlah kampus mentereng bisa dijumpai di kota pinggir laut tersebut, dan 'memasok' belasan hingga puluhan ribu pendatang yang menuntut ilmu. Alhasil, Padang kebanjiran anak-anak muda yang mulai menggilai modernisasi. Hal ini juga berdampak dengan bioskop. 

Lily selaku pengelola Bioskop Karya mengaku, sejak persaingan yang terasa semakin ketat dengan jaringan XXI, manajemen bioskop Karya sebenarnya melakukan sejumlah renovasi. Dalam setahun ini, Karya berbenah untuk perbaikan toilet dan bangku penonton. 

Bioskop Karya juga berupaya keras untuk menampilkan film-film yang up-to-date. Namun kenyataannya, awal Agustus itu Karya baru memutar sebuah film horor yang sudah dirilis sejak Mei sebelumnya di Jakarta. "Tapi yang jelas, kami berupaya melakukan perbaikan," ujar Lily, singkat. 

Elzia, salah satu pengelola Bioskop Raya mengatakan butuh modal untuk melakukan perbaikan besar-besaran, termasuk renovasi studio, perbaruan layar, proyektor, dan bangku penonton. Belum lagi, pengelola harus mengganti sistem penjualan karcis sesuai teknologi teranyar bila ingin menyamai kompetitor. 

"Ya kalau ada yang mau ajak kerja sama, kami mau. Siapa yang ngga mau dikasih modal. Asal nasib kami terjamin," ujar dia. 

Ketua Jurusan Sejarah FIB Universitas Andalas Anatona keberadaan bioskop mulai terdesak ketika teknologi menghadirkan mesin pemutar CD. Perlahan, masyarakat lebih memilih nonton film di rumah dibanding harus antren karcis dan duduk manis di bioskop. 

"Kedua, channel TV makin banyak. Dulu kan tunggal TVRI. Sekarang sudah banyak sudah lebih dari 10. Jelas lah bioskop tergeser," katanya. 

Karena itu, upaya perbaikan tidak hanya melibatkan pemilik bioskop dengan nilai sejarah itu. Menurutnya, perlu ada dialog antara pengusaha bioskop dan pemerintah untuk membahas nasib bioskop-bioskop tua ini. Salah satunya, menjembatani manajemen bioskop-bioskop lama dengan investor yang bisa memberikan modal untuk renovasi gedung dan fasilitas gedung. 

"Secara nilai historis, memang harus dipertahankan. Namun kan di sini sisi bisnis bicara. Solusinya harus ada dialog. Investor harus mendekat dan pengusaha bioskop lama harus membuka diri," katanya. 

Perlu ada upaya pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) untuk mendekatkan investor dengan pengelola-pengelola bioskop tua. Barangkali, dengan masuknya investor bisa menyulap keberadaan bioskop 'jadul' seperti Karya dan Raya setenar Metropole di Jakarta yang kini semakin ciamik dengan arsitekturnya yang bercita rasa kolonial. 

Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf memandang pengusaha bioskop lokal harus bermitra dengan investor yang lebih mempunyai endurance atau ketahanan bisnis untuk berkompetisi. Bekraf, lanjutnya, berasama Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sedang menyusun incentif sebagai stimulan untuk para investor yang mau mengembangkan jaringan layar bioskop non-mal, di kota-kota kecil. 

"Kantong penonton film nasional itu ada di kota-kota kecil. Mau tidak mau, bioskop lokal harus membuka diri. Karena untuk memenuhi standar yang dituntut konsumen bahwa bioskop adalah venue hiburan yang lengkap dibutuhkan investasi," ujar Triawan. 

Dia menambahkan harus ada rasa lapang dada oleh pengelola bioskop agar bisa dikelola oleh pemain-pemain besar. Asalkan, nasib para karyawan yang sudah lama bekerja di sana juga tidak tergeser.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement