Sabtu 09 Sep 2017 05:56 WIB

Raya dan Karya, Luruhnya Gelora Bioskop Tua di Padang

Deretan kursi di dalam studio Raya dan Karya kini seringkali kosong

Bioskop Karya, atau Karia, di Padang, Sumatra Barat. Bioskop lokal di Padang mulai ditinggalkan penonton menyusul masuknya jaringan bioskop besar dari Jakarta.
Foto:
Bagian depan Bioskop Raya, Padang, Sumatra Barat.

Sejatinya, mengacu sejumlah literatur yang ada, keriaan gambar bergerak sudah merasuki remaja-remaja Sumatra Barat sejak awal abad ke-20. Hamka kecil, misalnya, termasuk penyuka film. Ketika menempuh sekolah di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada 1917, Hamka dan kawan-kawannya kerap ‘curi-curi’ kesempatan untuk menonton bioskop lewat lubang-lubang yang ada di dinding bioskop. 

Dalam bukunya, Kenang-Kenangan Hidup, terbitan 1951, Buya Hamka menuturkan kenangan masa kecilnya saat nonton bioskop. Sayang, meski sudah mencoba mengintip layar dengan hati-hati, penjaga bioskop tetap saja tahu. 

Hamka bercerita, penjaga bioskop kala itu terpaksa melumeri lubang-lubang di dinding bioskop dengan kotoran ayam. Alhasil, Hamka dan teman-temannya undur dari dari tayangan film gratisan yang mereka saksikan. 

"Alangkah lutjunya seketika segumpal tahi ajam melekat di hidung kawan kita. Dengan berbisik-bisik karena kebusukannja, diadjaknja kawan-kawannja itu mengundurkan diri dari sana. Ada jang kena badjunja, ada jang kena hidungnja, dan ada pula jang kenal kain sarung sembahjangnya. Pendjaga panggung terdengar tertawa terbahak-bahak!" tulis Buya Hamka dalam bukunya. 

Begitu pula di Kota Padang, Ibu Kota Provinsi Sumatra Barat sekaligus gerbang budaya Eropa untuk masuk ke Tanah Minang. Padang merupakan kota pertama di Sumatra yang mengecap kemajuan teknologi perfilman pada zamannya.

Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas Anatona mengungkapkan, keberadaan bioskop bisa memberikan gambaran bagaimana kehidupan masyarakat Padang dalam bersosialisasi. Seiring majunya teknologi, khususnya gambar bergerak, Padang menjadi kota di Sumatra pertama yang diincar pengusaha Belanda dan Cina untuk mengembangkan usaha bioskop. 

Anatona juga menambahkan, keberadaan bioskop sekaligus menjawab kebutuhan masyarakat akan hiburan. Bioskop Mulia yang berada di area Pasar Raya, misalnya, dengan setia menayangkan film-film India. 

Bioskop Purnama terkenal dengan film-film aksi Hollywood. Sementara bioskop Raya, Karya, dan New Rex yang berada di Pondok tergolong bioskop elite yang memfasilitasi kaum Eropa dan pribumi berduit saat itu. 

Pakar filologi Universitas Leiden Belanda, Suryadi, mengungkapkan Padang pada masa kolonial erat kaitannya dengan segala perkembangan yang terjadi di Batavia. Ia memisalkan, bila suatu media sudah dikenalkan di Batavia, tak lama berselang akan merambat ke Kota Padang.

Hal ini bisa dilihat dari perkembangan mesin bicara atau phonograf yang mulai dikenalkan di Padang pada 1898, setelah teknologi ini ditularkan dari Eropa ke Jawa beberapa tahun sebelumnya. Menyusul setelahnya, teknologi fotografi yang berkembang dan perfilman di era 1900-an yang masuk ke Batavia.

Akhirnya, sejak awal abad ke-20 tersebut warga Kota Padang sudah mulai menyicip rasanya nonton layar lebar atau bioskop, yang diserap dari kata bioscoop dalam bahasa Belanda. Suryadi, dalam penelitiannya, merangkum terdapat empat bioskop pertama yang dibangun di Padang. 

Empat bioskop tersebut yakni Royal Excelsior Bioscope, Biograph Bioscope, Scala Bioscope dan Cinema Theatre. Memasuki 1920-an, bioskop juga dibangun di Padang Panjang, Fort de Kock (Bukittinggi), dan Payakumbuh.

Seiring berjalannya waktu, seni perfilman yang dinikmati masyarakat Minang pada awal abad ke-20 memengaruhi tatanan budaya saat itu. Misalnya, nonton bioskop dianggap sebagai suatu identitas kemodernan. 

Suryadi menilai, fenomena tersebut sejalan dengan semakin berkurangnya angka buta huruf. Pada masa kolonial, kegiatan membaca surat kabar atau buku-buku saja sudah dianggap intelek. Seiring berkembangnya budaya membaca, masyarakat Minang memang gemar cerita-cerita berbalut kisah romantisme anak muda. 

Saat itu, roman-roman seperti Melati van Agam, Roos van Pajacomboe, Njai Sida: Roos van Sawah Loento, Orang Rantai dari Siloengkang, Hantjoer-leboernja Padang Pandjang, Zender Nirom, dan roman lainnya laris di pasaran. Di dalamnya sering ditemukan narasi mengenai tokoh-tokoh utamanya yang bergaya pergi nonton bareng ke bioskop. 

Dalam penelitiannya, Suryadi juga menyebutkan keberadaan bioskop di Tanah Minang di medio 1920-1950 belum lekat dengan citra sebagai tempat untuk bergaya. Maksudnya, bioskop saat itu belum mampu membuat anak-anak muda berpakaian kebarat-baratan, meski saat itu masih berseliweran noni-noni Belanda yang ikut menikmati gambar bergerak di bioskop. 

Pada masa lampau, menurut Suryadi, orang nonton film di bioskop masih mengenakan sarung dan peci. Bahkan, sebelum demam rok dan blus merebak, perempuan-perempuan Minang masih gemar mengenakan kebaya untuk ke bioskop. 

Artinya, busana yang dikenakan pemuda-pemudi saat pergi ke masjid atau surau dan bioskop, sama saja.  "Harus diakui bahwa Padang sudah lama menjadi kota bandar yang ‘modern’. Sayang sekali belum ada studi historis yang komprehensif tentang  sejarah urban entertainment di Padang. Keberadaan bioskop tua, tentu harus ada upaya-upaya untuk menjaga nilai sejarahnya," kata Suryadi saat diwawancara via surat elektronik (surel). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement