Sabtu 09 Sep 2017 05:56 WIB

Raya dan Karya, Luruhnya Gelora Bioskop Tua di Padang

Deretan kursi di dalam studio Raya dan Karya kini seringkali kosong

Bioskop Karya, atau Karia, di Padang, Sumatra Barat. Bioskop lokal di Padang mulai ditinggalkan penonton menyusul masuknya jaringan bioskop besar dari Jakarta.
Foto: Republika/Sapto Andika Candra
Bioskop Karya, atau Karia, di Padang, Sumatra Barat. Bioskop lokal di Padang mulai ditinggalkan penonton menyusul masuknya jaringan bioskop besar dari Jakarta.

Oleh Sapto Andika Candra

Wartawan Republika

Berkunjung ke dua bioskop tua yang masih bertahan di Kota Padang, yakni Raya dan Karya Theater, laksana menyapa legenda film yang kini renta terseret zaman. Menyisakan sedikit daya, keduanya mencoba tetap eksis di tengah gempuran kompetisi dengan bioskop-bioskop modern yang mulai hadir di Padang selama setahun belakangan.

Ibarat mantan pesohor, baik Raya dan Karya (kerap ditulis Karia), masih mengguratkan keperkasaannya lewat gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial. Studio-studionya masih dipertahankan dengan kapasitas penonton hingga ratusan orang. 

Namun, deretan kursi di dalam studio Raya dan Karya kini seringkali kosong. Dari tiga studio di kedua bioskop tersebut, biasanya hanya satu studio yang dibiarkan tetap memutar film-film untuk 4 kali pertunjukan setiap hari. 

Sistem pemesanan tiket juga dibiarkan manual, dengan petugas yang mencoret nomor-nomor kursi yang dikehendaki penonton. Karcis model manual ini tentu ketinggalan bila dibandingkan jaringan bioskop modern yang sudah serba digital. Bahkan saingan Raya dan Karya sudah menjual karcis secara daring. 

Keduanya, memilih bertahan dengan teknologi apa adanya. Ancaman nyata-nyata datang ketika jaringan bioskop modern asal Jakarta mulai beroperasi di Kota Padang pada medio 2016 lalu. Setahun belakangan, keduanya merasakan pukulan telak. Republika sempat mendatangi kedua bioskop yang susah payah tetap melayani pelanggan setianya. 

***

Awal Agustus 2017, hujan gemar menyambangi Padang nyaris saban hari. Akhir pekan menjadi waktu favorit bagi muda-mudi untuk menghabiskan waktu berdua, termasuk nonton bioskop. Bioskop Karya yang terletak di Pondok, sebuah wilayah Pecinan di Kota Padang, terlihat ramai. 

Orang-orang memenuhi bagian depan bioskop Karya. Namun, hujan deras di luar, menyamarkan tujuan mereka yang berjubel di lobi bioskop Karya. Sempat mengira bahwa seluruhnya adalah pengunjung yang hendak menikmati pertunjukan film, namun dugaan tersebut meleset. 

Saat hujan mulai reda, belasan pasangan meninggalkan gedung bioskop menyisakan segelintir penonton yang asli. Kebanyakan dari mereka hanya berteduh.

Hal serupa juga dialami oleh bioskop Raya, yang terletak persis di depan Pasar Raya Padang. Bahkan, pada akhir pekan, Studio 1 yang saat itu memutar sebuah film lokal hanya mampu menyedot lima pasang muda-mudi.

Studio 2 dan 3 yang seharusnya memutar film asing box-office dibiarkan menganggur. Alasannya sederhana, efisiensi listrik. Ketimbang mengoperasikan ketiga studio, pengelola bioskop Raya dan Karya memilih memutar satu film dengan jumlah penonton terbanyak. Bila ada penonton yang ingin menonton judul lain yang ternyata sepi, pihak bioskop akan menawarkan pindah studio. 

Cici Lily (55 tahun), pengelola bioskop Karya, mengakui adanya penurunan jumlah penonton sejak jaringan bioskop modern beroperasi di Padang. Hingga tahun lalu, tepat sebelum jaringan bioskop besar masuk ke Kota Padang, Bioskop Karya mampu menyedot 150 hingga 200 penonton dalam sehari.

Kini, dalam empat kali pertunjukan, bioskop yang sempat masuk jajaran bioskop elite bernama Cinema ini hanya mampu menarik puluhan penonton. "Paling sekitar 75 penonton," ujar Lily saat ditemui di depan Studio 2 yang saat itu memutar sebuah film lokal bergenre horor. 

Meski jumlah penonton merosot drastis, Lily menyatakan, operasional bioskop Karya masih berjalan dengan baik. Seluruh gaji karyawan masih bisa dipenuhi dari hasil penjualan karcis seharga Rp 25 ribu per lembar pada hari biasa dan Rp 35 ribu/lembar pada akhir pekan.

Senada dengan Lily, Arni, pengelola bioskop Raya, juga mengeluhkan penurunan penonton yang terbilang drastis sejak XXI mulai membuka studionya di Padang tahun lalu. Sabtu malam biasanya menjadi waktu paling ramai dalam sepekan bioskop beroperasi. "Tapi, lihat saja ke dalam, gimana kondisinya," ujar Arni singkat. Benar saja, hanya segelintir penonton yang menonton film saat itu. 

Harga tiket yang dijual bioskop Raya sama dengan Bioskop Karya, Rp 25 ribu per orang untuk hari biasa dan Rp 35 ribu saat akhir pekan. Harga yang tergolong murah ini ternyata belum ampuh untuk menarik lebih banyak lagi penonton di Bioskop Raya. 

Kondisi diperparah dengan perbaikan Pasar Raya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang sejak 2012. Akses menuju Pasar Raya, yang melalui bioskop Raya, juga terpaksa dibuka-tutup secara berkala. 

Hal ini mengakibatkan penonton harus berpikir ulang bila hendak menonton film di raya. "Jujur kalau ditanya menurun, iya menurun. Jauh penurunannya. Jangan tanya angka, pokoknya jauh. Ini diperparah jalan yang sempat ditutup di depan bioskop," ujar Kepala Bagian Personalia Bioskop Raya Elzia. 

Elzia menuturkan, kejayaan bioskop Raya sempat dirasakan tahun lalu sesaat sebelum bioskop XXI beroperasi. Film Ada Apa dengan Cinta 2 dan Habibie Ainun adalah dua film lokal yang berhasil memenuhi tiga studio di bioskop Raya.

Artinya, lebih dari 500 kursi setiap harinya habis terjual. Namun, kondisi tersebut berubah drastis ketika pesaing dari Jakarta mulai muncul. Sejumlah sentra perbelanjaan baru mulai dibangun di Padang dan membuat penonton perlahan meninggalkan bioskop-bioskop senior di Kota Padang, Raya dan Karya.

Hingga saat ini, pengelola kedua bioskop tersebut kompak yakin kalau studio-studio mereka masih bakal didatangi para pelanggan setia. Memang, penonton di kedua bioskop yang masih rela membeli karcis analog dan layar dengan kualitas proyektor seadanya tergolong 'fans setia'. 

Nirwan (33 tahun), misalnya, sekali-dua kali dalam sebulan, masih mendatangi bioskop Karya bersama pasangannya lantaran harga yang relatif lebih murah dibanding XXI. Belum lagi, bagi Nirwan bioskop Karya menyumbang memori tersendiri saat ia masih remaja. 

"Sejak sekolah suka nonton di sini. Murah saja sih. Jadi masih ke sini kadang-kadang," ujar Nirwan. 

Lain halnya dengan Friska, warga Padang yang kini tinggal di Ibu Kota. Merunut ingatannya, tahun 2010 adalah kali terakhir Friska mengunjungi bioskop Raya. 

Dekade 2000-an, menurut dia, bioskop Raya masih menjadi tumpuan bagi warga Padang yang ingin menonton film-film Hollywood, meski harus menunggu jeda beberapa pekan atau bahkan bulan dibandingkan pemutaran di kota-kota besar lainnya. Masih lekat di ingatan Friska ketika ia mendatangi bioskop Raya demi menonton film Harry Potter atau Lord of The Rings yang mesti dipotong-potong lantaran durasinya terlalu panjang. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement