REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman RI mencecar Lippo Cikarang terkait pembangunan megaproyek Meikarta yang menuai polemik. Lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik itu menanyakan langkah Lippo yang memasarkan Meikarta meski beberapa persyaratan dan perizinan belum dipenuhi.
"Saat Lippo melakukan marketing sementara syarat belum diselesaikan seperti IMB, kenapa Lippo tidak bersabar menunggu itu?," tanya Komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih saat pertemuan di gedung Ombudsman, Jakarta, Jumat (8/9).
Direktur Lippo Cikarang Ju Kian Salim tak menjawab secara tegas pertanyaan Alamsyah tersebut. Dia justru menjelaskan pembangunan megaproyek di Cikarang, Kabupaten Bekasi itu adalah jawaban atas lesunya ekonomi. Ia mengklaim pembangunan ini wujud dukungan kepada pemerintah untuk program sejuta rumah. "Kami berjuang tidak pakai APBN nih, perumahan ini harusnya tugas negara," ujar dia.
Alamsyah mengatakan, dari keterangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Ombudsman, Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) Kota Baru Meikarta baru terdaftar sebesar 84,6 hektare dari 164 hektare yang diajukan pihak Meikarta. Selain itu, Meikarta juga belum melengkapi izin lainnya seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Amdal.
Persoalan ini dinilai Alamsyah menyalahi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang mengharuskan adanya perizinan pembangunan rumah susun sebelum dipasarkan. Jika ini terus dilakukan, menurutnya, akan memiliki konsekuensi berupa sanksi administratif.
Bahkan, lanjut Alamsyah, dalam Pasal 43 di UU itu dijelaskan bahwa persyaratan jual beli di antaranya adalah kepemilikan IMB. Jika transaksi jual beli dilakukan sebelum semua izin itu beres, maka bisa berdampak pada sanksi pidana. "Ada di situ sanksi pidana apabila dia tetap melakukan kegiatan marketing sebelum persyaratan-persyaratan itu, salah satunya izin termasuk tidak boleh jual beli," katanya.
Namun, Direktur Komunikasi Lippo Group Danang Kemayan Jati membantah telah melakukan transaksi jual beli di Meikarta. Sejauh ini hanya booking fee atau uang tanda pemesanan dari konsumen. Uang tersebut tidak digunakan untuk kegiatan pembangunan, namun disimpan khusus di rekening berbeda dan sewaktu-waktu bisa dikembalikan ke konsumen. "Booking fee itu normal dalam bisnis properti. Itu belum transaksi, masih pemesanan. Supaya antriannya tertib dan bisa dikembalikan," ujar Danang.