REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Kelompok difabel di Irlandia kembali mendapat kesempatan untuk belajar gamelan dalam kegiatan residensi seniman tradisional gamelan, degung, tari, dan angklung, di Irlandia, yang digelar Kedutaan Besar RI di London. Atase Pendidikan dan Kebudayaan, KBRI London Aminudin Aziz, mewakili Duta Besar RI untuk UK dan Irlandia menyerahkan secara resmi program residensi kepada Direktur Utama National Concert Hall /NCH) Simon Taylor didampingi manajer pembelajaran, dan beberapa staf NCH Nigel Flegg.
Selain itu, hadir pula pengajar gamelan di NCHPeter Moran dan beberapa perguruan tinggi di Irlandia. Aminudin mengatakan, peserta residensi adalah seniman dari Yogya, karena perangkat gamelan yang ada di Dublin merupakan hibah dari Sri Sultan Hamengku Buwono X bernama "Joglo Roso" pada tiga tahun lalu kepada NCH dan masyarakat Irlandia.
"Ini menjadi momentum memperingati tiga tahun keberadaan Jogo Roso di Irlandia", ujar Aminudin di London, Jumat (8/9).
Dia mengatakan sekitar sembilan kelompok gamelan secara rutin memanfaatkan keberadaan "Jogo Roso" di NCH. Ia menambahkan, bukan hanya yang ada di Kota Dublin, tetapi juga di wilayah Limerick, Cork, Galaway, bahkan Belfast. “Ini menunjukkan peminat musik gamelan di Irlandia cukup banyak dan berkembang dari waktu ke waktu," kata dia.
Direktur Utama NCH Simon Taylor menyatakan pihaknya menyambut baik program residensi itu sebagai program pertama sejak adanya "Jogo Roso" di NCH. Menurut Simon, keragaman musik tradisional yang ada di NCH menjadi salah satu penanda sekaligus pengikat serta pengokoh keberadaan NCH di Irlandia.
Dia mengatakan pihak NCH memfasilitasi jenis-jenis musik rakyat yang mendunia dan gamelan merupakan salah satu di antaranya. "Ini cara kami menjadikan lembaga sebagai rumah bagi seniman dunia", ujarnya.
Sementara itu, Peter Moran, dosen gamelan di NCH dan beberapa universitas di Irlandia menyatakan sudah lama merindukan kehadiran ahli gamelan Yogya di Dublin. "Kami harus bersabar untuk menunggu, dan setelah tiga tahun akhirnya keinginan ini menjadi kenyataan, tentu saja atas jasa baik dari Atdikbud KBRI London dan Kemdikbud di Jakarta", ujar Peter, yang pernah tinggal dan belajar gamelan di Yogyakarta beberapa tahun lalu.
Peter akan menjadi pendamping Sumaryono dalam melatih bermain gamelan kepada peserta di Irlandia. "Dasar-dasar bermain gamelan sudah saya ajarkan. Yang kami perlukan pelajaran lanjutan, biar lebih maju lagi", kata Peter.
Setelah bertemu dengan sejumlah pemain gamelan di Dublin, Sumaryono menemukan teknik bermain gamelan peminat gamelan di Dublin umumnya sudah baik. "Namun, teknik mereka masih perlu dipoles sehingga lebih pas di telinga", kata Sumaryono, dosen ISI Yogyakarta.
Bagi Sumaryono, program residensi selama tiga bulan yang akan diikutinya sampai akhir November 2017 itu bukanlah hal baru bagi pencinta gamelan di Dublin. Tiga tahun lalu, Sumaryono mengikuti program muhibah seni dipimpin Sri Sultan HB X ke Dublin dan sempat menampilkan beberapa karyanya.
Program Residensi Seniman Gamelan di Dublin berbeda dengan di Glasgow dan London sepanjang tahun 2017. Di Dublin, ada satu kelompok peminat gamelan berasal dari kaum difabel yang minta diajarkan gamlean. Ini merupakan hal baru dan menjadi tantangan bagi peserta.
"Kami kaget, ternyata musik gamelan juga diminati kaum difabel. Ini akan menjadi tantangan bagi pengajar, sebab baru pertama kali dihadapkan mengajar kaum difabel", ujarnya.
Program belajar gamelan untuk kaum difabel merupakan yang kedua kali dilakukan KBRI London. Yang pertama dan saat ini sedang dirintis adalah pelajaran gamelan untuk kaum difabel yang didukung KBRI London, Kemendikbud, dan BBC London.