Kamis 07 Sep 2017 06:00 WIB

Mengakhiri Nestapa Rohingya (1)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Gelombang kekerasan kembali melanda Rohingya. Dalam gelombang kali ini ratusan Muslim Rohingya tewas baik sebagai korban militer Myanmar, maupun tenggelam di laut lepas dalam usaha menyelamatkan diri dari kebrutalan tentara Myanmar.

Kecaman dan kutukan dari berbagai pihak internasional—termasuk PBB dan Indonesia—nampak belum mampu mengakhiri penderitaan dan kenestapaan umat Muslim Rohingya. Pemerintah Myanmar menyalahkan berbagai pihak lain baik lokal dan regional maupun internasional sebagai penyebab membaranya kembali keadaan di Rakhine State.

Pemerintah dan militer Myanmar terus melakukan aksi militer yang disebut sebagai genosida terhadap kaum Rohingya. Pemerintah Myanmar dan juga penerima Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi nampak tidak berusaha menghentikan kebrutalan militer; dia membisu seribu bahasa di tengah tuntutan agar Hadiah Nobelnya dicabut.

Kenapa sulit sekali mengakhiri nestapa Rohingya? Hal ini terkait banyak dengan kontestasi politik, agama dan etnis yang terjadi di Myanmar yang berlangsung lama dan akut. Krisis Rohingya hanya salah satu dari indikator simptomatik negara Myanmar yang tidak terselesasikan sejak akhir penjajahan Inggris dan terbentuknya negara Burma pada 6 Januari 1948.

Pergantian nama sejak 1989 menjadi Myanmar terbukti tidak menyelesaikan akar-akar konflik komunal (etnis dan agama) di negara ini. Kekerasan yang dilakukan aparat negara justru mendorong radikalisasi di antara kelompok etnis dan agama yang berbeda.

Tidak ragu lagi, kelompok yang kemudian dikenal sebagai Rohingya adalah penganut Islam yang secara etnis Bengali (Bangladesh) paling menderita persekusi yang dilakukan negara Myanmar. Kelompok etnis lain yang juga mengalami persekusi misalnya etnis Kachin penganut Kristianitas.

Tingkat persekusi yang dilakukan negara Myanmar terhadap kaum Rohingya mudah terlihat. Jumlah orang Rohingya di Rakhine State Myanmar diperkirakan antara 1,1 sampai 1,3 juta jiwa. Mereka ini tidak diakui negara Myanmar sebagai warganegara alias stateless.

Karena persekusi yang terus meningkat, sangat banyak kaum Rohingya berusaha menyelamatkan diri—menjadi pengungsi di negara lain. Lebih dari 500 ribu jiwa orang Rohingya menjadi pengungsi di berbagai negara, khususnya Bangladesh, India, Thailand, Indonesia dan Malaysia.

Para pengungsi Rohingya sering pula tidak diinginkan (unwanted) di negara tempat mereka mengungsi. Bangladesh cenderung menolak mereka. India belakangan juga berusaha mengusir mereka karena menganggap mereka bisa menimbulkan masalah sekuriti.

Mengalami kenestapaan persekusi di Myanmar, kaum Rohingya dan kelompok-kelompok etnis-agama lain melahirkan kelompok dan organisasi bersenjata. Tetapi karena jumlah jauh lebih kecil dibanding militer Myanmar, mereka tak mampu menghentikan aksi negara Myanmar yang telah disebut PBB dan kelompok pembela HAM ‘crimes against humanity’.

Melawan persekusi pemerintah Myanmar, kaum Muslim Rohingya memunculkan berbagai kelompok mujahidin. Di antaranya yang pernah kuat misalnya Rohingya Liberation Party (RLP, didirikan pada 1972) di bawah pimpinan Zawar Kawal.

RLF mengalami setback setelah operasi militer besar-besaran yang dilancarkan pemerintah, yang berujung pada pembentukan Rohingya Patriotic Front (RPF) pada 1974. RFP kemudian menjadi target militer Myanmar sehingga mengalami nasib hampir sama dengan RLF. Keadaan ini mendorong pembentukan kelompok lebih radikal, Rohingya Solidarity Organization (RSO, 1982) yang mendapat dukungan berbagai kelompok mujahidin di Bangladesh dan Pakistan.

Sejak pendiriannya RSO hampir selalu dianggap pemerintah Myamar bertanggungjawab terhadap berbagai perlawanan yang dilakukan kaum Muslim Rohingya. Pada 1998, RSO dan Arakan Rohingya Islamic Front (ARIF) membentuk Arakan Rohingya National Organization (ARNO) dan sayap militernya Rohingya National Army (RNA).

Kelompok perlawanan yang sejak Oktober 2016, terlibat kekerasan dengan militer Myanmar adalah Rohingya Salvation Army (RSA). Juga ada  kelompok Rohingya Harakah al-Yaqin yang menyatakan bertanggungjawab atas aksi perlawanan terhadap persekusi sekarang ini.

Dengan demikian, gelombang kekerasan terakhir ini terkait dengan meningkatkan eskalasi unit bersenjata di kalangan Muslim Rohingya karena persekusi yang terus meningkat. Gelombang aksi terakhir ini bahkan disebut sebagai ‘jihad ketiga’. Jihad pertama terjadi pada 1948 dan jihad kedua pada pertengahan 1970-an

Bisa dipastikan, kekerasan yang dilakukan pemerintah Myanmar tidak bakal menyelesaikan masalah Rohingya. Sebaliknya, Myanmar dapat menjadi negara ‘pariah’ yang terpencil dari kehidupan regional dan internasional beradab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement