Kamis 07 Sep 2017 08:07 WIB

Saham Freeport, Maju Kena Mundur Kena

Arif Supriyono
Foto: doc pribadi
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono, wartawan Republika

Akhir Agustus lalu, Pemerintah Indonesia telah mencapai kesepakatan dengan Freeport McMoran Inc yang merupakan induk PT Freeport Indonesia. Paling tidak ada lima kesepakatan dalam perundingan antara perusahaan di bidang tambang timah dan emas tersebut  dengan pihak pemerintah.

Pertama, perubahan landasan hukum dalam hubungan kedua belah pihak, dari kontrak karya menjadi izin usaha pertambanngan khusus (IUPK). Kedua, divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional Indonesia. Ketiga, PT Freeport akan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter selama lima tahun atau paling lambat selesai pada Oktober 2022. Keempat, ada stabilisasi penerimaan negara. Kelima, setelah PT Freeport Indonesia menyepakati empat poin itu, maka akan mendapatkan perpanjangan masa operasi maksimal 2x10 tahun hingga 2041.

Sebagian besar masyarakat menyambut gembira adanya kesepakatan ini. Dalih untuk menyatakan kegembiraan adalah adanya penguasaan saham 51 persen di PT Freeport Indonesia. Selama ini, saham Indonesia di Freeport Indonensia hanya sekitar 9,3 persen. Angka ini dianggap sangat kecil. Apalagi masyarakat juga tahu, nyaris setiap tahun PT Freeport Indonesia mengeruk puluhan triliun rupiah dari hasil tambang mereka di Timika, Papua tersebut. Dengan peningkatan kepemilikan saham yang besar, tentu saja harapannya adalah terjadinya lonjakan pendapatan negara dari PT Freeport Indonesia.

Di sisi lain, masyarakat juga memberikan pujian luar biasa atas 'keberanian' pemerintah untuk membeli jatah kepemilikan saham lebih besar. Selama puluhan tahun, perubahan kepemilikan saham Indonesia di PT Freeport memang tak seberapa. Semula hanya di kisaran satu persen saat awal berdiri, lalu kepemilikan saham naik menjadi 9,3 persen pada 1994. Angka persentase saham yang sama juga dimiliki PT Indocopper Investama di PT Freeport Indonesia.

Pada 1991, PT Freeport Indonesia mendapatkan perpanjangan kontrak karya untuk 30 tahun. Selain itu, mereka juga bisa mendapatkan dua kali perpanjangan 10 tahun. Ini artinya, kontrak karya Freeport Indonesia baru akan habis pada 2041.

Nah pada 2010, pemerintah mengeluarkan aturan baru. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, perpanjangan operasi tambang baru bisa diajukan dua tahun sebelum akhir kontrak. Dengan begitu, untuk masa kontrak PT Freeport Indonesia yang berakhir pada 2021, maka permohonan perpanjangan baru bisa dilakukan pada 2019.

Bila melihat rencana perubahan komposisi kepemilikan saham di PT Freeport Indonesia, wajar bila banyak masyarakat yang girang. Namun, apa memang itu satu-satunya jalan untuk meningkatkan kepemilikan saham sekaligus menguasai PT Freeport Indonesia?

Sudah barang tentu tak tahu banyak yang tahu detail isi kontrak karya tersebut. Dalam benak saya, kontrak merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak. Ini sangat jelas. Lantaran itu menyangkut kontrak (karya) antara pemilik lahan dan pihak yang melakukan penambangan, maka jelaslah pemilik lahan itu pemerintah atau negara Indonesia. Adapun PT Freeport Indonesia sebagai kontraktornya atau pihak yanng melakukan penambangan.

Logika dasar mengenai hubungan kontrak sebagaimana yang terjadi pada umumnya, bila kontrak itu berakhir, maka lahan tersebut sepenuhnya menjadi hak sang pemilik. Pihak kontraktor atau yang melakukan penambangan sama sekali tak memilliki hak apa pun lagi atas lahan tersebut. Ini juga berlaku pada kontrak kerja sama lainnya, misalnya penggarapan sawah. Jika kontrak kerja sama itu habis, maka lahan sawah itu sepenuhnya menjadi hak pemilik, bukan penggarap sawah.

Andai pada 2021 kontrak karya pemerintah dengan PT Freeport Indonesia berakhir dan tidak kita perpanjang, maka area atau lahan tambang di Timika itu tentu 100 persen menjadi milik sah pemerintah dan negara Indonesia. Dengan begitu, kita tak perlu harus mengeluarkan uang puluhan triliun rupiah demi untuk mendapatkan 51 persen saham di PT Freeport. Bahkan, tanpa sepeser pun kita bisa mendapatkan 100 persen saham jika memang kontrak karya itu tak diperpanjang.

Untuk mendapatkan 100 persen saham itu, pemerintah harus menunggu empat tahun lagi. Hal ini karena kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia akan berakhir pada 2021. Berarti  tinggal memilih, empat kita akan mendapat 100 persen saham secara gratis tetapi harus menunggu empat tahun lagi, atau kita mendapat kepastian memperoleh 51 persen saham denngan membayar puluhan triliun rupiah?

Berdasarkan pandangan orang awam, tentu akan memilih mendapatkan 100 persen saham dengan tanpa mengeluarkan uang sama sekali. Ibaratnya, kalau bisa gratis, mengapa harus mengeluarkan uang begitu banyak dan cuma 51 persen pula. Justru di sinilah kemungkinan muncul masalah baru atau risiko yang akan dipikul pemerintah jika kita tidak memperpanjang kontrak karya.

Selama empat tahun waktu tunggu menuju 2021, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan lahan tambanng di Timika. Kita pun tak bisa melakukan kontrol sepenuhnya kerja PT Freeport Indonesia di lapangan. Bisa jadi, karena tidak diperpanjang lagi, maka mereka justru merusak atau mengganggu sistem kerja, fasilitas, dan aneka mekanisme kegiatan kerja penambangan di sana. Jika ini terjadi, tentu pemerintah juga yang repot.

Apalagi, berdasarkan informasi yang beredar luas di media Amerika Serikat, kinerja PT Freeport Indonesia tak seindah dulu. Pada tahun 2014, mereka hanya meraup untung sekitar Rp 6 triliun. Bahkan setahun kemudian, mereka dikabarkan merugi sekitar Rp 20 trilliun. Salah satu sebab kerugian itu adalah ekspansi mereka di bidang minyak yang  demikian besar. Sialnya, ketika ekspansi dilakukan terhadap perusahaan minyak di AS, ternyata harga minyak dunia meluncur jatuh. Mereka pun merana sejadi-jadinya.

Dengan kondisi seperti ini dan andai mereka tahu pasti penambangan di Timika tak akan diperpanjang, mungkin mereka pun berprinsip: tiji tibeh, barji barbeh (mati siji mati kabeh, bubar siji bubar kabeh). Artinya, mati satu mati semua dan bubar satu bubar semuanya. Bisa jadi PT Freeport Indonesia tak mengharapkan pemerintah Indonesia memperoleh manfaat besar atas tambang di Timika, karena mereka pun tak bisa mendapatkan hasil juga akibat tak diperpanjang kontraknya.

Apabila sistem dan situasi di Timika rusak berat, sudah pasti butuh biaya besar untuk memulihkannya. Bukan tidak mungkin Indonesia terpaksa mengundang pihak asing lainnya untuk memperbaiki dan bahkan meneruskan kegiatan tambang di Timika. Dengan demikian, sangat mungkin hanya  pergantian pemain (kontraktor) saja yang kemudian terjadi. Ini sama saja bohong.

Namun, bila kita memutuskan untuk memperpanjang kontrak dan mendapat kepastian saham 51 persen, itu juga bukan hal yang sepele. Harus ada dana puluhan triliun rupiah untuk mendapatkan 51 persen saham. Bila dua tahun lalu PT Freeport Indonesia mematok angka Rp 20 triliun pada pemerintah hanya untuk menjadikan saham 20 persen di perusahaan itu, pastilah untuk mengubah menjadi 51 persen butuh dana minimal berlipat-lipat.

Ini tentu berat bagi pemerintah yang anggaran belanjanya pun terus mengalami defisit. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan PT Freeport Indonesia. Kucuran dana puluhan triliun rupiah yang bakal mereka terima akan membuatnya segar kembali dan bisa bernapas denngan normal. Tentu langkah bisnis mereka akan lebih tertata. Mereka pun bisa melakukan konsolidasi lebih baik lagi, di tengah kerugian yang sempat menghantuinya. Jangan sampai, skenario kepemilikan saham 51 persen itu justru hanya menguntungkan PT Freeport Indonesia dan yang sebenarnya mereka kehendaki.

Dalam masalah PT Freeport Indonesia, pemerintah ibaratnya memang maju kena mundur kena. Tak memperpanjang kontrak karya (walau akan mendapat 100 persen saham) akan berisiko rusaknya lahan tambang di Timika. Sedangkan, memperpanjang kontrak juga berarti harus pontang-panting mencari puluhan triliun rupiah dana di tengah kondisi sulit negara saat ini. Belum lagi bila ternyata PT Freeport Indonesia tak lagi memberikan keuntungan memadai.

Sebaiknya, hal ini dikaji lebih mendalam lagi. Bila keputusan pemerintah telah diambil, tetap harus dipilih risiko paling kecil yang mungkin kita terima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement