REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Obsesi menciptakan bank sampah di setiap Rukun Warga (RW) tampaknya tak mustahil. Lurah Cipete Utara Mohammad Yohan telah membuktikannya.
Kini, di Cipete Utara terdapat setidaknya sebelas bank sampah yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Bahkan, muncul ide untuk membuat bank sampah di tingkat Rukun Tetangga (RT).
"Bank sampah bisa mengurangi rata-rata 1-2 ton sampah per hari di transito," kata Yohan saat ditemui di kantornya, Senin (4/9).
Ia menceritakan, sampah yang diambil dari transito kurang lebih mencapai 20 ton per hari. Bank sampah di setiap RW rata-rata dapat mengumpulkan 1-2,4 ton per bulan. Ada lebih dari 400 nasabah telah bergabung.
Penimbangan dilakukan setiap dua pekan sekali. Terkadang, ketika volume sampah berlebih, penimbangan dapat dilakukan sepekan sekali sesuai permintaan warga.
Dalam sekali penimbangan, warga bisa membuang sampah bernilai yang menumpuk di rumahnya. Mereka juga bisa membawa rata-rata Rp 50-100 ribu per hari. Tak heran, mereka cukup antusias dengan program tersebut.
Keberadaan Bank Sampah di Kelurahan Cipete Utara sudah ada sejak 2013, dimulai dari RW 02. Secara berturut-turut, terbentuk pula dua bank sampah lain, yaitu di RW 06 pada 2014 dan RW 03 pada 2015.
Pada September 2016, kegiatan ini makin digalakkan oleh Yohan. Selama setahun terakhir, kesebelas RW yang ada di Kelurahan Cipete Utara telah memiliki bank sampah.
"Saya dilantik Juni. Mulai bank sampah September 2016. Pernah rata-rata setiap bulan satu bank sampah (dibuka)," kata dia.
Pengetahuan mengenai bank sampah ia peroleh ketika mengikuti diklat tata air di Belanda pada 2015. Saat diklat, ada waktu-waktu kosong selama beberapa jam. Bersama anggota lain, ia memutuskan untuk berkeliling dan belajar mengenai tata kota di Aflal Loon, Rotterdam.
Di sana, bank sampah berdiri di tengah perkotaan, berhadapan dengan bank-bank konvensional. Yohan sengaja membawa baju-baju yang yang hendak dijual untuk mencoba langsung pengalaman menjadi nasabah bank sampah. Dengan membawa pakaian bekas sebanyak lima kilogram, ia mendapatkan uang senilai 1 Euro.
Yohan dan teman-temannya datang pada sore hari. Ketika itu, banyak nasabah yang datang. Mereka memiliki kartu khusus yang ketika digesek akan otomatis terisi dengan nominal uang seharga sampah yang disetorkan.
"Kalau di sini kartunya belum bisa diterbitkan. Karena harus nunggu satu bulan baru bisa dicetak," kata dia.
Yohan meyakini Indonesia bisa membuat bank sampah yang lebih baik daripada Aflan Loon. Ketika awal menjabat sebagai lurah, ia berkunjung ke RW 01. Ia melihat pos RW tak terawat, padahal dihimpit oleh apartemen dan sekolah elit. Ia pun mengetuk kepedulian pihak apartemen dan sekolah untuk memperbaiki pos RW.
Pihak apartemen membantu mengecat pos tersebut. Pihak sekolah mengisi pos dengan furnitur. Dengan suasana baru yang lebih layak, kegiatan RW pun kembali hidup. Masyarakat juga lebih bersemangat untuk mengantarkan sampah.
Walau demikian, pembentukan bank sampah justru lebih cepat dilakukan di RW 07. Mereka menggandeng seorang pengepul yang bekerja sama dengan lembaga kemanusiaan. Pengepul ini juga menerima sampah dari beberapa bank sampah lain. Total ada sembilan titik yang kini ia kelola.
"Alhamdulillah perkembangannya sangat baik. Para penabung atau nasabah sangat semangat dan antusias," kata pengepul, Nyai Maesaroh.