REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat Muhammadiyah meminta pemerintah mempertimbangkan untuk menyediakan sebuah kawasan atau daerah di Indonesia yang diperuntukan sebagai tempat menampung sementara pengungsi Rohingya. Penyediaan daerah penampungan ini seperti yang pernah dilakukan terhadap pengungsi perang Vietnam di Pulau Galang beberapa dekade lalu.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Bahtiar Effendy menilai pemerintah juga harus mengevaluasi kebijakan diplomasi sunyi (nonmegaphone diplomacy) yang selama ini diterapkan kepada Myanmar. "Karena terbukti tidak berhasil mendesak Myanmar mengakhiri berbagai praktik genosida terhadap etnis Rohingya," kata Bahtiar dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (1/9).
Karena itu, PP Muhamadiyah mendesak negara-negara ASEAN untuk menekan Myanmar supaya menghentikan praktik genosida tersebut. Jika dalam waktu yang dinilai cukup tapi Myanmar tidak sanggup melakukannya, maka ASEAN patut mempertimbangkan pembekuan keanggotaan negara Myanmar di ASEAN.
"Karena besarnya jumlah korban, ASEAN perlu untuk tidak mengedepankan prinsip nonintervensi dan menggantinya dengan keharusan untuk ikut bertanggungjawab atas nasib dan melindungi etnis Rohingya," ujar dia.
Menurut Bahtiar, penghargaan Nobel Perdamaian bagi Aung San Suu Kyi, salah seorang pemimpin terkemuka Myanmar juga perlu dicabut. Sebab, alih-alih menunjukkan kesungguhan untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan di Myanmar, Aung Suu malah memperburuk keadaan.
Mahkamah Kejahatan Internasional juga harus didesak untuk segera mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas praktik genosida terhadap etnis Rohingya di Myanmar. "(PP Muhammadiyah juga) mendesak aktivis HAM dan kemanusiaan di seluruh dunia memberikan perhatian serius terhadap kasus genosida etnis Rohingya. Muhammadiyah bersedia menjadi leading sector mengorganisasikan kegiatan masyarakat ASEAN dan dunia pada umumnya untuk menggalang bantuan dan dukungan kemanusiaan kepada etnis Rohingya," kata dia.