Jumat 01 Sep 2017 04:10 WIB

Komisi III DPR Minta Pemerintah RI Ultimatum Myanmar

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil.
Foto: Dok DPR RI
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI Komisi III, M Nasir Djamil mengutuk keras terjadinya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer dan kelompok ekstrimis di Rohingya Myanmar. Selain mendesak dihentikannya kejahatan kemanusiaan, Nasir meminta pemerintah bersikap keras memberikan sikap ultimatum diplomatik terhadap Myanmar.

Pertama, kata dia, pemerintah dapat melakukan upaya diplomatik dengan mengultimatum Kedutaan Besar Myanmar di Indonesia agar Pemerintahan Myanmar menghentikan pembantaian.

"Apabila ultimatum tidak diindahkan, maka Duta Besar Myanmar harus diusir dari Indonesia sebagai bentuk protes keras. Termasuk juga memanggil duta besar Indonesia untuk Myanmar," katanya, Kamis (31/8).

Langkah kedua pemerintah, menurutnya, dapat mendorong PBB maupun ASEAN untuk membentuk tim khusus untuk melakukan pencarian fakta sekaligus menjadi penjaga kedamaian dan melindungi kelompok minoritas muslim di Rohingya. Karena kini telah terbentuk kelompok Militan Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) yang melakukan perlawanan ke militer Myanmar.

Bila ini terus dibiarkan, ia melihat konflik akan terus terjadi dan akan semakin membuat rumit kondisi muslim Rohingya. Selanjutnya, menurutnya, pemerintah dapat mendorong komunitas internasional khususnya ASEAN untuk mengembargo Myanmar baik secara diplomatik maupun ekonomi.

Embargo tersebut lazim diterapkan untuk menekan negara yang melakukan kejahatan kemanusiaan. Karena konflik yang berujung pada pembataian kelompok muslim Rohingya ini sudah berlangsung lama.

Nasir Djamil pun menyayangkan tidak ada langkah kongkret dari dunia baik itu PBB maupun ASEAN untuk memproses dan menghentikan pembantaian tersebut. Untk itu, langkah kongkrit dan tegas dari dunia internasional harus ditunjukkan, termasuk dari Indonesia dan ASEAN.

Termasuk Indonesia dan ASEAN bisa mendorong agar lembaga pemberi Nobel di Oslo Norwegia, mengevaluasi kembali bahkan mencabut pemberian hadiah Nobel perdamaian kepada tokoh Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang diam saja atas pelanggaran HAM di Rohingya. Diamnya Aung San Suu Kyi dinilai sebagai bentuk persetujuannya atas pembantaian di Rohingya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement