Para petani tebu di berbagai daerah sedang larut dalam keluh kesah. Mulai dari soal harga, penumpukan di gudang pabrik gula, hingga indikasi bocornya gula rafinasi impor ke pasar-pasar konsumsi. Bagaimana sedianya nasib mereka-mereka di hilir produksi gula nasional? Wartawan Republika.co.id, Andrian Saputra dan Lilis Sri Handayani menelusurinya di Karanganyar, Jawa Tengah; dan Cirebon, Jawa Barat. Berikut tulisannya.
Matahari tengah panas-panasnya menyinari Tasikmadu, Karanganyar, Selasa (29/8). Sekira pukul 12.00 WIB tersebut, Mariono masih tampak lincah memanen batang-batang tebu di kebun. Usianya sudah menginjak 50 tahun, tapi masih ada sisa tenaganya.
Ia memanen bersama empat rekannya yang menyediakan jasa memanen tebu bagi para petani dan pemilik kebun saat ditemui Republika.co.id, kemarin. Meski sudah masuk masa panen, tidak ada semringah di wajahnya. “Upahnya turun. Katanya lagi susah jualnya. Ya mau gimana, kami juga butuh kerja, terima saja,” kata Mariono sembari memangkas batang-batang tebu.
Tahun lalu, menurut dia, upah jasa potong tebu dikisaran Rp 9.000 hingga Rp 10 ribu per kuintal. Namun saat ini, jasa potong tebu di Karanganyar turun Rp 8.000 per kuintal. Mariono menuturkan, dalam sehari bisa memotong tebu mencapai tiga rit (angkatan) untuk diangkut tiga truk yang masing-masing mengangkut lima ton.
Artinya, dengan tarif lama Mariono bisa memperoleh Rp 135 ribu per hari. Dengan upah buruh panen terbaru, ia kehilangan Rp 27 ribu per hari. Dalam sepekan bekerja, upah Mariono lebih rendah Rp 189 ribu dibandingkan upah lamanya. Bukan jumlah kecil buatnya.
Mariono hanya satu bagian kecil dari rangkaian panjang pengolahan gula di Indonesia. Tidak begitu paham dengan rerupa aksi dan gejolak di kalangan petani dan pengusaha tebu belakangan. Kepada Republika.co.id, ia mengatakan, tidak paham soal protes soal PPN sebesar 10 persen yang sempat ditimpakan pada produsen dan akhirnya dicabut pemerintah dan dilimpahkan pada perusahaan pembeli.
Ia juga tidak paham soal standardisasi produk gula yang kian tegas diterapkan pemerintah, pula dengan kuota impor gula rafinasi terbaru. Begitu juga, ia tidak luput dari impak persoalan gula yang mengemuka.
Ketua I Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI), Sumandoko mengakui, sulitnya pemasaran gula di pasaran berimbas pada biaya operasional petani tebu, salah satunya ongkos jasa potong tebu. “Tak bisa bertahan biayai operasional, tebang, angkut, dan lainnya kalau gula numpuk terus dipabrik, sulit keluar,” kata dia.
Dalam pandangan Sumandoko, kebijakan impor gula pemerintah punya andil dalam penumpukan gula tersebut. Pada 2016 lalu, pemerintah mengeluarkan izin impor gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman sebanyak 3,2 juta ton.
Tahun ini, izin impor gula rafinasi yang sudah disetujui untuk kuartal I sebanyak 1,5 juta ton. Impor itu ditambah izin impor gula mentah untuk keperluan konsumsi rumah tangga sebanyak 400 ribu ton. Alasan pemerintah melakukan impor, karena produksi lokal dinilai tidak bisa memenuhi kebutuhan nasional sebesar 5,7 juta ton.
Yang jadi persoalan, menurut Sumandoko, ia menemukan gula-gula impor rafinasi itu malah ada di toko-toko kelontongan, di jual di pasar-pasar tradisional, bahkan digunakan pedagang kaki lima. “Tapi toh kenyataannya gula rafinasi ini bocor di pasaran, ini membuat hancur gula lokal,” kata Sumandoko yang juga merupakan petani tebu di Karanganyar.
Ia menjelaskan, sejak April petani tebu di Jawa Tengah sudah mulai panen. Di Karanganyar, proses giling tebu mulai berlangsung sejak Juni lalu. Tapi apa daya, gula-gula yang sudah digiling dan siap jual itu malah menumpuk di Pabrik Gula Tasikmadu.
Menurut dia, ada beberapa pedagang yang masih bersedia membeli gula petani, tetapi harganya jauh di bawah Harga Pokok Penjualan (HPP) gula. “Pertama itu kan karena PPN, sudah clear bebasnya September nanti, terus kebanjiran gula impor. Lah, imbas ke pedagang, minta beli gula murah cuma (Rp) delapan ribu,” katanya. Dia mengatakan, hal itu salah satu yang mendorong petani tebu berkeras meminta HPP di atas biaya pokok produksi, atau dari HPP saat ini Rp 9.700 per kilogram (kg) menjadi Rp 11 ribu.
Di lain sisi, Sumandoko menyatakan, instruksi pemerintah pada Bulog untuk segera menyerap gula petani belum terlaksana. Mau tidak mau, menurut dia, petani pun terpaksa menjual gula kepada pedagang yang menawar, kendati harganya jauh di bawah HPP. “Bulog ini mekanismenya lama sekali, sulit kita keluarnya. Dari pada menangis petani, dia harus biayai upah operasional dari tukang potong, angkut, ya dijual akhirnya,” katanya.
Belum kelar di situ, was-was petani muncul lagi setelah pemerintah belakangan terkesan lebih tegas menerapkan standardisasi terhadap pabrik produksi gula. Kementerian Perdagangan mensyaratkan, gula harus memenuhi standar International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA).
Badan yang dibentuk pada masa kolonialisme di abad ke-19 tersebut sejauh ini menjadi penentu standar, yang digunakan untuk menilai kualitas gula. Standar ini juga memiliki parameter untuk menilai kualitas gula dari warna yang menunjukkan tingkat kebersihan tingkat kimiawi dari gula tersebut.
Standar kualitas untuk gula tipe 1, yakni ICUMSA 80-200. Sementara gula tipe 2, yakni ICUMSA 80-300. Sementara yang dihasilkan sejumlah pabrik-pabrik gula lawas di berbagai daerah jauh di atas angka tersebut, yang artinya terkena larangan edar oleh Kementerian Perdagangan.
Menurut Sumandoko, kualitas standar yang ditetapkan pemerintah memang belum mampu dicapai pabrik-pabrik lawas, seperti PG Tasikmadu karena fasilitas yang minim dan sudah tua. Hal tersebut berbeda dengan pabrik swasta yang baru berdiri dengan segala kecanggihan teknologi. “Kami belum siap, memang itu urusannya direksi, urusannya pabrik. Tapi kan imbasnya ke petani juga kalau gula ditahan tak bisa beredar,” kata dia.
Habis-habisan
Tanaman tebu sudah menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan dari Dulsalam. Petani dari Desa Beringin, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon itu telah menghabiskan 32 tahun belakangan dari hidupnya menanam tebu.
''Saya mulai menanam tebu sejak 1985,'' kata pria paruh baya tersebut kepada Republika.co.id, Selasa (29/8). Dulsalam menanam tebu dengan menyewa lahan milik orang lain. Saat ini, ada tujuh hektare lahan tebu yang disewanya dengan harga Rp 6 juta per hektare setiap tahun.
Selain biaya sewa, dia juga harus merogoh kocek puluhan juta rupiah lagi untuk biaya garap, tanam, perawatan, pengairan, pemupukan, ataupun pemanenan. Sepanjang 32 tahun menanam tebu, Dulsalam mengklaim baru tahun inilah benar-benar mengalami keterpurukan.
''Saya ini sekarang abis-abisan. Sampe harus ngutang kanan kiri, ke tetangga dan saudara,'' kata Dulsalam mengeluh. Dulsalam melakukan tebang (panen) pada Juni 2017. Setelah tebang, lahan tebu harus kembali digarap. Modal untuk menggarap itulah yang tidak dimilikinya sehingga harus berutang.
Ia tidak sendiri. Ribuan petani tebu lainnya di Kabupaten Cirebon juga merasakan hal yang sama. Pada tahun ini, gula milik petani tebu yang telah diolah pabrik gula (PG) tempatan tidak ada yang membeli.
Sehubungan dengan sistem bagi hasil antara pabrik gula BUMN dan petani, bila tidak ada yang laku tidak ada pula keuntungan untuk petani.
Belasan ribu ton gula petani menumpuk di dua pabrik gula yang ada di Kabupaten Cirebon. Yakni di PG Sindanglaut, Kecamatan Lemahabang sebanyak 7.070 ton dan di PG Tersana Baru, Kecamatan Babakan, sekitar 10 ribu ton. Kondisi itu terjadi lebih dari tiga bulan terakhir.
Meski tiga bulan lebih gula menumpuk di gudang, di pasaran ternyata tidak terjadi kelangkaan. Harga gula pasir pun tidak mengalami lonjakan, rata-rata tetap di kisaran Rp 12.500 per kg hingga Rp 14 ribu per kg. Para petani tebu pun mengendus maraknya gula impor rafinasi yang beredar luas di pasaran. Gula yang semestinya hanya untuk industri makanan dan minuman, malah dijual untuk konsumsi.
Hal itu di antaranya terungkap dari hasil sidak yang dilakukan tim DPD Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jabar ke sebuah gudang distributor/pedagang di Jalan Benteng, Kamis (3/8) pukul 08.00 hingga 11.00 WIB. Di gudang itu, tim menemukan ada puluhan ton gula impor rafinasi yang menumpuk. Namun, saat tim kembali ke gudang itu bersama aparat kepolisian pada malam harinya, gudang telah kosong.
Setelah tebu tidak laku terjual, ribuan ton gula milik mereka yang disimpan di dua pabrik gula disegel Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada pertengahan Agustus 2017. Alasannya, gula petani tidak sesuai kualitas standar nasional. “Ibaratnya sudah jatuh, tertimpa tangga pula,'' ujar Wakil Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jabar, Agus Safari, kepada Republika.co.id, Senin (21/8) lalu.
Kekecewaan serupa juga diungkapkan Wakil Ketua DPD Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jabar, Mae Azhar. ''Ini lucu. Disegel dulu, baru diambil sampelnya. Apalagi tahun-tahun sebelumnya juga tidak pernah ada pengecekan kualitas gula petani,'' kata Mae.
Tak berapa lama setelah penyegelan itu, Bulog menyatakan ingin membeli gula petani dengan harga Rp 9.700 per kg. Harga itu jauh di bawah harga eceran tertinggi (HET) yang mencapai Rp 12.500 per kg. Menghadapi tawaran itu, sikap petani tebu pun terbelah.
Para petani tebu yang tergabung dalam Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jabar, menolak dengan tegas. Sedangkan petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jabar, menerimanya.
Sebanyak 6.000 ton gula milik petani yang tergabung dalam asosiasi akhirnya dibeli Bulog dengan harga Rp 9.700 per kg. Penandatanganan kontrak pembelian gula untuk tahap awal sebanyak 6.000 ton itu dilakukan di Kantor Bulog Divre Jabar, Selasa (29/8).
Ketua DPD Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Jabar, Dudi Bahrudin, menjelaskan, gula sebanyak 6.000 ton yang dibeli Bulog itu ada di gudang PG Jatitujuh, Sindanglaut dan Babakan. Untuk gula yang ada di gudang PG Tersana Baru, belum bisa dinilai gulanya sesuai SNI atau tidak sehingga belum bisa dilakukan pembelian. ''Gula yang siap diserap Bulog itu yang sudah sesuai standar SNI,'' terang Dudi, yang juga dihubungi melalui telefon selulernya.
Dudi menerangkan, gula sebanyak 6.000 ton tersebut adalah gula milik petani yang tergabung dalam asosiasi petani. Sedangkan gula milik petani yang tergabung dalam Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia dan pabrik gula, tidak termasuk dalam kontrak pembelian itu. Dudi mengaku, gula dengan harga Rp 9.700 per kg memang belum ideal. Namun, harga itu dinilai logis dan rasional.
Kerugian yang dialami Dulsalam dan ribuan lainnya di Cirebon sedianya semacam kulminasi dari rupa-rupa persoalan yang menghinggapi produksi gula petani yang diolah pabrik pelat merah. Pertanyaannya, dari mana mala mereka bermula?
Pengamat pertanian Dwi Andreas menuturkan, pada awal 2016, Indonesia mengalami defisit gula yang cukup besar, yakni sekitar 400 ribu ton. Harga gula yang semula berada di kisaran harga Rp 11 ribu -12 ribu per kg naik menjadi Rp 14 ribu -15 ribu per kg.
"Pemerintah mencoba meredam, tapi tidak bisa terselamatkan karena sudah terbentuk keseimbangan harga baru," kata Andreas, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (29/8). Lalu, pada April 2017, pemerintah berusaha menurunkan harga gula menjadi Rp 12.500 per kg.
Untuk menekan harga di pasaran, pemerintah bekerja sama dengan industri gula rafinasi. Mereka diizinkan melakukan impor untuk kebutuhan gula konsumsi. Namun, dengan syarat industri harus menjual gula konsumsi dengan harga maksimal Rp 12.500 per kg.
Pada saat yang sama, pemerintah juga mewajibkan semua pedagang untuk menjual gula sesuai dengan harga yang telah ditetapkan Kementerian Perdagangan. "Di sinilah celakanya. Karena keseimbangan harga baru sudah mengerek biaya produksi di level usaha tani," kata Andreas.
Bagi industri, sambung dia, menjual gula di harga Rp 12.500 per kg bukan masalah. Sebab, mereka menggunakan bahan baku gula mentah yang harganya rendah. Sementara, bagi petani tebu, adanya HET sebesar Rp 12.500 per kg untuk gula menyiksa mereka. Sebab, biaya produksi petani sudah di atas Rp 10 ribu per kg.
Masalah Warna
Persoalan lainnya adalah perihal mesin-mesin produksi pabrik gula pelat merah yang menyerap tebu petani. Penyegelan di Cirebon, menurut Kementerian Perdagangan (Kemendag), terkait dengan produk olahan tebu petani yang di bawah standar.
Gula dari pabrik tersebut, menurut pihak Kemendag, warnanya terlampau kuning. Artinya, ia mengindikasikan angka ICUMSA yang terlalu tinggi. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengungkapkan, ada 13 pabrik gula yang secara kasat mata memproduksi gula dengan kadar ICUMSA lebih tinggi dari batas yang ditetapkan. Semuanya merupakan pabrik milik BUMN.
Untuk bisa diedarkan, pihak pembeli seperti Perum Bulog nantinya harus mengolah gula tersebut hingga sesuai standar. Usia mesin-mesin pengolah di berbagai pabrik gula yang sudah tua disebut menjadi salah satu penyebab keluaran produk yang tidak optimal.
Pihak PT PG Rajawali II sebagai perusahaan industri gula yang mempunyai lima pabrik gula (PG) di Jabar tak menyangkal hal ini. Direktur Utama PT PG Rajawali II, Audry H Jolly Lapian, mengatakan, produk gula yang tidak sesuai SNI di PG Sindanglaut dan PB Tersana Baru, Cirebon itu merupakan hasil produksi giling pertama. Saat itu, kondisi mesin belum stabil.
''Sedangkan untuk proses giling selanjutnya sudah tidak ada masalah,'' ujar Audry, saat menggelar jumpa pers di kantor PT PG Rajawali II di Kota Cirebon, Rabu (30/8). Terkait hal itu, pabrik akan memroses ulang itu sekitar 8.000 ton. Gula tersebut milik pabrik gula, sebagai bagian dari sistem bagi hasil dalam proses giling tebu milik petani.
Untuk mempercepat proses ulang gula yang tidak sesuai standar SNI itu, PG Rajawali II akan melakukannya di empat pabrik gula milik mereka. Yakni PG Sindanglaut dan PG Tersana Baru di Kabupaten Cirebon, PG Jatitujuh di Kabupaten Majalengka dan PG Subang di Kabupaten Subang.
Audry mengakui, untuk proses ulang gula yang tidak sesuai SNI tersebut, pihaknya harus mengeluarkan biaya ekstra. Ditambah lagi, ada selisih kekurangan gula karena susut selama proses ulang. ''Tapi itu sudah menjadi resiko yang harus kami tanggung,'' tutur Audry.
Menurutnya, penetapan kualitas gula yang harus sesuai standar diterapkan sejak 2015. Karena itu, pihaknya memang berkewajiban untuk memproduksi gula sesuai standar SNI.
Ia berdalih, pengawasan kualitas di pabrik gula selama ini telah dilakukan. Namun, dia mengakui tidak semua variabel yang dianalisis terpantau seluruhnya. Untuk mengantisipasi terulangnya kasus tersebut dan memastikan seluruh produk gula sesuai SNI, pihaknya akan bekerja sama dengan Balai Besar Industri Agro.
Pada 2018, perusahaan itu akan melakukan investasi senilai Rp 250 miliar untuk tujuan tersebut. ''Kami juga melakukan pembenahan SDM dengan memisahkan karyawan bagian produksi dan pengawasan,'' ujar Audry.
Bagaimanapun, ribuan petani gula telanjur jengah. Para petani tebu dari berbagai daerah berunjuk rasa ke Istana Negara, Jakarta, Senin (28/8). Yang mereka suarakan adalah disudahinya segalam bentuk akar masalah yang membuat petani gula rugi belakangan ini.
Di antaranya, menyangkut maraknya gula impor rafinasi, rendahnya harga gula, dan penyegelan gula milik petani oleh Kemendag. Selain itu, mereka juga menagih janji pemerintah untuk merevitalisasi pabrik gula. Para petani meyakini, jika hal-hal yang mereka tuntut itu diperhatikan, kesejahteraan bakal membaik. n