REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VII DPR segera mengundang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KemenESDM) terkait hasil kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport Mcmoran Inc selaku induk PT Freeport Indonesia. Sebab, setidaknya ada lima poin yang disepakati dan menandai akhir perselisihan dua belah pihak.
"Kita sudah jadwalkan ya, cuma tertunda, harusnya minggu yang lalu, tertunda karena mereka punya alasan untuk melakukan negoisasi ini. Karena sekarang sudah selesai, menteri akan kita minta keterangan," ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/8).
Tak hanya itu, Komisi VII DPR juga ingin mengundang pihak PT Freeport Indonesia untuk memastikan komitmen perusahaan asal Amerika Serikat itu terhadap hasil kesepakatan. "Sekaligus Freeport juga kita panggil supaya tahu bagaiamana keseriusan mereka mensikapi terhadap hasil negosiasi," ujar Satya.
Satya menginginkan hasil kesepakatan ditindaklanjuti secara detail bahwa PT Freeport pasti melaksanakan komitmennya salah satunya pembangunan pabrik pengolahan atau pemurnian (smelter) harus sudah terbangun pada 2022 atau lima tahun pasca Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 diteken Pemerintah. Hal ini penting agar kedepannya PT Freeport Indonesia tidak kemudian melanggar hasil kesepakatan itu.
"Jadi setahun pertama progresnya gimana, kedua gimana, tahun ketiga gimana, kita tidak ingin melihat tahun kelima tidak terbangun sedikit pun, tidak ada progres secara fisik, itu merupakan pengingkaran daripada hasil negosiasi," ujarnya.
Begitu halnya dengan kesepakatan divestasi 51 persen, Komisi VII DPR meminta pemerintah betul-betul bekerja maksimal mungkin. "Sehingga nilai ukuran untuk mendivestasi 51 persen tadi tidak memberatkan investor karna kita nggak pengen cara hitungnya salah," ujar anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar itu.
Namun demikian, secara keseluruhan ia mengapresiasi hasil kesepakatan pemerintah dengan PT Freeport tersebut. Sebab, sejak Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, yang menjadi persoalan adalah perubahan Kontrak Karya menjadi IUPK
"Saya melihat ini telah melalui beberapa pemerintahan, sekarang diselesaikan di era Presiden Jokowi," ujarnya.
Hasil kesepakatan final renegosiasi Pemerintah dengan PTFI diketahui menghasilkan empat poin penting. Pertama, landasan hukum yang mengatur hubungan pemerintah dengan PTFI adalah IUPK, bukan kontrak karya (KK). Kedua, divestasi PTFI sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional. Ketiga, PTFI berkewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) selama lima tahun atau maksimal pada Oktober 2022. Dan keempat, stabilitas penerimaan negara, yakni penerimaan negara secara agregat lebih besar dibanding penerimaan melalui KK selama ini.