REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Abdul Kharis Almasyari mengutuk kejahatan kemanusiaan atas warga Rohingya di Myanmar. Kata Abdul Kharis, saat ini tensi meningkat, ribuan warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Pertempuran terbaru militer Myanmar dengan warga menewaskan 71 korban jiwa.
"Kita harus menginvestigasi kritis pembantaian sistematis/genosida pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya sebagaimana diduga oleh PBB, termasuk ragam pemerkosaan wanita Rohingya yang sedang hamil. Serta pembiaran 80 ribu lebih anak-anak yang menderita kelaparan di daerah termiskin Myanmar tersebut," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Selasa (29/8).
Abdul Kharis menilai, krisis kemanusiaan tersebut merupakan aib bagi para tokoh dan negara-negara yang gemar berceramah tentang Hak Asasi Manusia. Hal ini juga menguji apakah sungguh-sungguh memperjuangkan kesetaraan dan persaudaraan manusia. Yang memprihatinkan, Kharis melihat respon dari negara-negara tetangga, termasuk negara-negara ASEAN maupun negara-negara mayoritas Muslim.
"Jangan sampai seperti sedang melakukan 'pingpong maritim' dengan tujuan mencegah para pengungsi mendarat dan didorong ke negara lain," kritiknya.
Karena itu, Abdul Kharis mengapresiasi para nelayan Aceh yang kerap memandu para pengungsi ke pantai. Begitu pula lembaga-lembaga kemanusiaan yang merespon peristiwa ini dengan cepat. Sebagian bahkan sudah terlibat dalam membantu pengungsi Rohingya jauh sebelum peristiwa terakhir ini.
Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, para 'manusia perahu' Rohingya ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Gelombang eksodus yang terbaru dimulai sejak Mei 2012, sejak meletusnya konflik di wilayah Rakhine atau Arakan yang menjadikan kelompok minoritas Rohingya sebagai sasaran kekerasan. Menurut laporan dari Human Rights Watch, aparat pemerintah Myanmar yang seharusnya memulihkan keadaan justru ikut terlibat dalam konflik tersebut (Human Rights Watch, 2012).
Lanjut Abdul Kharis, persekusi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar telah dimulai sejak lama. Tahun 1950-an sampai 1960-an, etnis Rohingya diakui sebagai bagian dari Myanmar. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan berbagai operasi militer dan berbagai mekanisme diskriminatif untuk membatasi mobilitas dan pertumbuhan orang-orang Rohingya. Pada tahun 1982 rezim militer mengeluarkan orang-orang Rohingya dari kategori warga negara.
"Sejak saat itu, represi yang dilakukan oleh negara semakin keras," keluhnya.
Kemudian, hanya dengan melihat keberanian mereka mengambil risiko untuk terombang ambing tanpa nasib yang jelas di laut. Seharusnya bangsa Indonesia sendiri dapat memahami betapa mengerikannya penindasan yang mereka alami di Myanmar. Gelombang kekerasan terhadap orang-orang Rohingya yang terakhir ini telah memperlihatkan keterlibatan komunitas Buddha di Rakhine.
"Konflik yang sebelum ini bersifat 'vertikal' antara negara/rezim militer versus masyarakat berubah menjadi konflik horizontal antara masyarakat Muslim Rohingya versus masyarakat Buddha Rakhine yang lebih kompleks," ujar dia menerangkan.
Kharis juga mempertanyakan kenapa Aung San Suu Kyi, sang peraih Nobel Perdamaian, diam? Apakah dia takut kehilangan banyak suara dalam Pemilihan Umum atau sesungguhnya kelompok “pro-demokrasi” Myanmar pun punya kecenderungan rasis?
"Kita harus mengetuk hati Negara-negara dunia, karena telah terbuka krisis memperlihatkan rombongan manusia yang kurus kering dan penuh luka berdempetan di kapal-kapal yang dapat karam sewaktu-waktu. Rombongan pengungsi Rohingya tidak boleh diidentifikasi sebagai beban dan ancaman" tutur Abdul Kharis.
Maka dengan demikian, Abdul Kharis menyatakan Indonesia perlu mendorong gagasan tentang pendirian sebuah institusi atau mekanisme pendanaan global untuk pengungsi Rohingya. Namun, hal ini harus dibarengi dengan upaya untuk menyelesaikan akar dari krisis Rohingya ini. Yaitu eksklusi dan diskriminasi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar.
Dalam jangka menengah dan panjang, termasuk negara-negara ASEAN seperti Indonesia dan Malaysia, harus memulai upaya diplomasi untuk mengakhiri persekusi terhadap komunitas Rohingya di Myanmar. Harus ada upaya diplomatis untuk membuat pemerintah Myanmar merasa bahwa keuntungan melanjutkan persekusi jauh lebih kecil dari biaya yang harus ditanggung oleh pemerintahnya jika terus melanjutkannya.
"Tentu saja, hal ini merupakan ujian bagi ASEAN yang terkenal dengan norma non-interference-nya. Setop segera kejahatan kemanusiaan, apa gunanya ASEAN bersatu kalau tidak mampu melindungi manusia-manusia yang ada di dalamnya?" ucap dia.