Senin 28 Aug 2017 19:05 WIB

Bupati Klaten tak Layak Jadi Justice Collaborator

Bupati Klaten non aktif Sri Hartini meninggalkan Gedung KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Rabu (18/1).
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Bupati Klaten non aktif Sri Hartini meninggalkan Gedung KPK usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Rabu (18/1).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Bupati Klaten nonaktif Sri Hartini tidak memenuhi syarat sebagai justice collaborator karena menjadi pelaku utama dalam kasus suap dan gratifikasi yang menjeratnya. "Karena sebagai pelaku utama, pengajuan 'justice collaborator' tidak dikabulkan," kata Jaksa Penuntut Umum Afni Karolina usai sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (28/8).

Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan terdakwa sebagai pelaku utama dalam kasus suap jual beli jabatan serta gratifikasi. Bupati yang dilantik pada Februari 2016 tersebut menerima uang puluhan miliar rupiah dalam waktu kurang dari setahun masa jabatannya.

Sri Hartini dituntut 12 tahun penjara dalam kasus jual beli jabatan serta potongan fee atas dana bantuan keuangan desa di kabupaten tersebut. Menurut Afni, terdakwa terbukti melanggar dua dakwaan alternatif yang ditujukan kepadanya.

Pada dakwaan pertama, Sri Hartini terbukti melanggar Pasal 12a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dan ditambahkan dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Terdakwa terbukti menerima suap dalam pengisian Satuan Organisasi Tata Kerja (SOTK) di Kabupaten Klaten dengan total Rp 2,9 miliar.

"Terdakwa menerima usulan titipan pegawai untuk mengisi jabatan dalam penyusunan SOTK baru melalui sejumlah kerabat dekatnya," katanya.

Sebagai gantinya, orang-orang yang akan ditempatkan pada jabatan yang baru itu memberikan sejumlah uang yang lazim disebut dengan uang syukuran. Uang suap itu sendiri, menurut jaksa, diterima terdakwa dalam rentang periode Juli hingga Desember 2016.

Pada dakwaan kedua, jaksa juga menyatakan terdakwa terbukti melanggar pasal 12 B Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dan ditambahkan dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Terdakwa dinilai menerima pemberian berupa uang atau gratifikasi yang berkaitan dengan pencairan dana bantuan keuangan desa, titipan dalam penerimaan calon pegawai di BUMD, mutasi kepala sekolah, serta fee proyek di dinas pendidikan.

Total gratifikasi yang tidak pernah dilaporkan bupati yang belum genap setahun menjabat saat ditangkap KPK itu mencapai Rp 9,8 miliar. Afni menjabarkan, gratifikasi yang berasal dari potongan 10 hingga 15 persen dana bantuan keuangan desa tersebut mencapai Rp 4,07 miliar, uang ucapan terima kasih dari calon pegawai sejumlah BUMD mencapai Rp 1,8 miliar, uang syukuran dari sejumlah kepala SMP dan SMA sebesar Rp 3,1 miliar, dan fee atas proyek di dinas pendidikan sebesar Rp 750 juta.

Total jumlah suap dan gratifikasi yang diterima Sri Hartini mencapai Rp 12,8 miliar. Atas tindak pidana yang dilakukannya itu, Sri Hartini tidak dibebani untuk membayar uang pengganti kerugian negara. "Suap dan gratifikasi itu berasal dari uang orang-orang yang menyerahkan kepada terdakwa," katanya. Meski demikian, jaksa meminta uang hasil korupsi tersebut dirampas untuk negara.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement