Ahad 27 Aug 2017 08:57 WIB

Emansipasi, Bung Karno, dan Poligami

Bung Karno-Fatmawati bersepeda
Foto:
Presiden Sukarno dan Ibu Hartini

Fatmawati tidak dapat menerima perkawinan tersebut. Dia marah dan mengajukan permintaan cerai kepada Bung Karno. Pada awal 1955, Fatmawati memajukan gugatan cerai,  tetapi Bung Karno menolaknya.  Fatmawati yang marah,  tidak mau lagi tinggal di istana. Dia memilih tinggal sendiri di rumah pribadi di kawasan Jakarta Selatan.

Status Fatmawati itu oleh Bung Hatta disebut "digantung tidak bertali."

Bung Karno sendiri berpendapat, Fatmawati tidak perlu marah. "Istriku yang pertama dan kedua adalah orang-orang Islam yang saleh,  menyadari akan hukum-hukum Islam. Dan mereka mengerti. Atau seharusnya mengerti, bagaimanapun juga," tutur Bung Karno.

Ada pro,  ada juga kontra. Itulah sunnatullah. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Islam Indonesia Bukittinggi, H. Ahmad Darwisj Djambek dan Mansjur Thalib,  mendukung perkawinan itu.

"Perkawinan Bung Karno dan Nyonya Hartini adalah hak Bung Karno dan Nyonya Hartini sendiri yang oleh beliau-beliau telah dipergunakan dengan sebaik-baiknya menurut ajaran Islam."

Pimpinan Partai Islam itu menambahkan: "Bagi orang yang mencintai Islam tentulah akan memuji perkawinan ini."

Hartini ternyata bukan pelabuhan cinta terakhir Bung Karno. Sesudah itu Bung Karno menikah lagi dengan beberapa perempuan. Di antara para perempuan itu,  yang sering tampil ke publik adalah Ratnasari Dewi Sukarno.

Di luar itu ada disebut-sebut nama Haryati,  Jurike Singer,  dan Hilda.

Khusus terkait dengan kisah Inggit dan Fatmawati, di pertengahan tahun 1970-an, atas perantara Ali Sadikin kedua sempat bertemu. Dalam perteman yang mengharukan itu, Fatmawati meminta maaf secara langsung kepada Inggit. Atas pemintaan maaf Fatmawati itu, Inggit telah lama memaafkan seraya berkata dalam bahasa Sunda: "Kalau orang merasa sakit karena dicubit, maka janganlah mencubit." Inggit dan Fatmawati kemudian berpelukan.

Di lain hari, Inggit yang mulai sepuh sering dikunjungi Hartini. Bahkan keduanya terlihat kompak. Sukarno sendiri, semasa menjabat presiden, beberapakali mengunjungi Inggit. Bahkan, pada tahun 1962-an, Sukarno khusus menjenguk Inggit saat Inggit sakit.

''Giet, sakit apa?,'' tanya Sukarno dengan suara khas baritonnya.

"Alah sakit sedikit Kus (Kusno, nama kecil Sukarno),'' sahut Inggit. Semenjak pertama kali kenal Sukarno di awal 1920-an di rumah suami pertamanya di Bandung, dr Sanusi, Inggit memang selalu memanggil Sukarno dengan Kusno. Tak hanya menjenguk Inggit, Sukarno setiap bulan juga selalu mengirimkan uang untuk Inggit. Bahkan Inggit juga mendapat tanda jasa sebagai pejuang perintis kemerdekaan.

Tak hanya itu, para isteri Sukarno yang lain, ketika Sukarno tak lagi berkuasa kerap menjenguk Inggit. Mereka ternyata menganggap Inggit  sebagai penasihat atau ibunya. Ketika Inggit wafat di tahun 1980-an, Ratna Sari Dewi yang saat itu tinggal di Paris datang langsung untuk bertakziah.

Dari penuturan anak angkat Inggit, Ratna pun menangis sedih ketika melihat jenazah Inggit di bawa ke pemakaman yang tak jauh dari tepat tinggal terkahirnya di kawasan pinggiran Bandung.

Makam Inggit masih ramai dikunjungi hingga kini.

 

*peminat sejarah, mantan staf M Natsir dan Wapres Hamzah Haz

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement