Senin 21 Aug 2017 12:53 WIB

Partai Solidaritas Indonesia Gugat UU Pemilu

Rep: Santi Sopia/ Red: Andri Saubani
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari (tengah) bersalaman dengan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie (ketiga kanan) disaksikan Komisioner KPU Pramono Ubaid Thantowi dan jajaran pengurus DPP PSI saat audiensi Pimpinan DPP PSI dengan KPU, di kantor KPU, Jakarta, Senin (21/8).
Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari (tengah) bersalaman dengan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie (ketiga kanan) disaksikan Komisioner KPU Pramono Ubaid Thantowi dan jajaran pengurus DPP PSI saat audiensi Pimpinan DPP PSI dengan KPU, di kantor KPU, Jakarta, Senin (21/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Solidasitas Indonesia (PSI) mengajukan permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kuasa Hukum PSI dari Jangkar (Jaringan Advokasi Rakyat) PSI Dini Shanti Purwono mengatakan pasal yang digugat di antaranya pasal 173 ayat (3) jo, pasal 173 ayat (1) terkait ketentuan partai lama tidak wajib diverifikasi ulang untuk dapat menjadi peserta Pemilu tahun 2017.

PSI menilai, dengan terjadinya perbedaan perlakuan antara partai politik baru dan partai politik lama dalam hal verifikasi yang dilakukan oleh KPU, telah terjadi diskriminasi yang bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia (RI). "Kami menganggap verifikasi partai politik harus diberlakukan ke semua partai politik karena adanya faktor perubahan demografi penduduk, pemekaran daerah, dan perubahan kepengurusan di partai-partai politik dalam kurung lima tahun sejak verifikasi terakhir dilaksanakan," kata Dini di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (21/8).

PSI juga menggugat pasal 173 ayat (2) huruf e terkait ketentuan syarat untuk dapat menjadi peserta Pemilu di mana partai politik hanya mewajibkan penyertaan keterwakilan pada kepengurusan partai politik paling sedikit 30 pada kepengurusan tingkat pusat. Sedangkan untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan tidak ada ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut.

PSI menilai hak dan kepentingan perempuan pada tingkatan provinsi kabupaten/kota dan kecamatan, selain tingkat pusat menjadi tidak terlindungi dan terabaikan. Sehingga, bertentangan dengan kepentinggan PSI yang mengutamakan kepentingenan perempuan 30 persen setiap tingkatan.

Menurutnya, PSI memperjuangkan kesetaraan sosial dan politik bagi perempuan Indonesia untuk dapat seluas-luasnya berpartisipasi dalam struktur partai politik. "PSI merasa terzalimi dengan pembatasan hak-hak perempuan dalam UU Pemilu," katanya.

PSI memohon agar MK menyatakan pasal ayat (3) jo, pasal 17a ayat (1) UU Pemilu 2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. PSI meminta MK menyatakan pasal 173 ayat (2) huruf e Undang-Undang Pemilu 2017 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement