Senin 21 Aug 2017 06:00 WIB

Si Keparat Arthur James Balfour!

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Siapakah atau pihak manakah yang paling dikutuk bangsa Palestina terkait kesengsaraan mereka selama bertahun-tahun? Jawabannya bisa dipastikan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dan para pemimpin Zionis lainnya yang terus mencengkeramkan penjajahannya atas Palestina. Namun, ada sosok lain yang mungkin bukan hanya dibenci, tapi juga disumpah-serapahi hingga tujuh turunan. Dilaknat. Bahkan bisa jadi diumpat sebagai si keparat!

Dia adalah Arthur James Balfour (1848–1930). Ia pernah menjadi PM Inggris Raya (1902-1905). Setelahnya, dia juga pernah menjabat sebagai menteri luar negeri (1916-1919). Ketika menjadi Menlu itulah Balfour mengeluarkan surat penting yang kemudian dikenal sebagai ‘Deklarasi Balfour (The Balfour Declaration)’.

Inti dari deklarasi itu adalah surat penting Menlu Balfour kepada pemimpin komunitas Yahudi Inggris, Lord Walter Rothschild, untuk disampaikan kepada Federasi Zionis di seluruh Inggris Raya dan Irlandia. Isinya, sebuah janji untuk mendukung keinginan Zionis buat ‘tanah air Yahudi’ di wilayah Palestina.

Deklarasi Balfour kini hampir genap seabad. Seandainya tidak ada deklarasi yang dirilis 100 tahun lalu itu, atau tepatnya 2 November 1917, nasib bangsa Palestina dan bahkan negara-negara di Timur Tengah bisa lain. Bangsa Palestina mungkin saja sudah merdeka di tanah airnya sendiri. Sebab, sebelum itu Negara Yahudi akan didirikan di Argantina atau Uganda.

Namun, sebagaimana bunyi sebuah ungkapan ‘sejarah ditulis oleh para pemenang’, Inggris pada sekitar Perang Dunia I (1914-1918) ibarat penguasa empat penjuru mata angin. Sangat digdaya. Itulah sebabnya mereka menyebut dirinya sebagai Great Britain alias Britania Raya atau Inggris Raya.

Di Timur Tengah — yang dulu Inggris menyebutnya kawasan Timur Jauh — pada sekitaran PD I itu Sang Britania Raya bukan hanya mengeluarkan Janji Balfour. Namun, juga mengumbar janji-janji lain. Di antaranya janji kepada Syarif Husain bin Ali, Gubernur Mekah (1908) dan kemudian Raja Hijaz (1916-1924). Inti dari janji yang kemudian dikenal dengan ‘Correspondence Husain-MacMahon’ itu, Inggris siap membantu mempersatukan wilayah Arab di bawah kepemimpinan Syarif Husain. Juga janji kepada Prancis untuk membagi pengaruh mereka di wilayah-wilayah yang waktu itu masih di bawah kekuasaan Kekhalifahan Usmaniyah. Janji ini kemudian dikenal sebagai ‘The Sykes-Picot Agreement’.

Berbagai janji itu ternyata banyak yang saling bertolak belakang. Namun, hal itu tampaknya tidak masalah bagi Inggris. Yang terpenting adalah bagaimana pihak-pihak yang dijanjikan turut ambil bagian untuk segera mengakhiri  kekuasaan Kekhalifahan Usmaniyah di Timur Tengah. Apalagi saat itu Turki dikenal sebagai negara sakit di Eropa. Tentang pembagian wilayah bisa diputuskan kemudian, sesuai pekembangan.

Di sinilah, menurut  Abdul Mun’im Said, chairman dan direktur Pusat Regional untuk Studi Strategis di Kairo, kepandaian atau tepatnya kelicikan kaum Zionis memanfaatkan pihak lain untuk kepentingannya. Misalnya bagaimana mereka mengubah ‘janji’ menjadi ‘izin hijrah’, dari ‘tanah air Yahudi’ menjadi ‘negara nasionalis Yahudi’, dan seterusnya. Termasuk bagaimana mereka mengubah dari negara yang sangat kecil sesuai keputusan 181 Sidang Umum (SU) PBB pada 1947 menjadi negara luas hingga keluar resolusi DK PBB nomor 242.

Keputusan 181 SU PBB 1947 membagi wilayah Palestina untuk Yahudi dan Arab/Palestina. Sedangkan resolusi 242 DK PBB tahun 1967 adalah tentang gencatan senjata dan tuntutan agar Zionis Israel menarik diri dari wilayah-wilayah Arab yang diduduki dalam Perang Enam Hari itu.  Namun, Israel hanya bersedia menerima gencatan senjata tapi tetap menduduki wilayah-wilayah yang dikuasainya. Termasuk sebagian wilayah Suriah, Mesir, Yordania, dan seluruh wilayah Palestina.

Satu abad Deklarasi Balfour dan perkembangan yang menyertainya terdapat beberapa catatan yang, menurut Abdul Mun’im dalam kolomnya di media al Sharq al Awsat, bisa diambil sebagai pelajaran. Pertama, faktualisasi di lapangan lebih penting daripada argumen hukum atau moral. Di sinilah yang membedakan elit politik Yahudi dengan elite politik Palestina.

Perbedaan itu bukan hanya menyangkut keberhasilan pihak Yahudi membangun pemukiman di wilayah yang sebelumnya bukan milik mereka, sementara orang-orang Palestina sudah tinggal di tanah mereka sendiri. Namun, juga terkait kemampuan mereka membentuk lembaga-kembaga politik, keamanan, ekonomi, dan sosial.

Padahal saat itu, pihak Yahudi belum mempunyai lobi internasional. Bahkan pandangan masyarakat dunia sangat miring terhadap mereka. Misalnya, mereka dianggap sebagai pembunuh Nabi Isa. Gerakan anti-Yahudi juga semarak, seperti diperlihatkan Nazi Jerman. Mereka juga ditolak di mana-mana. Sebaliknya, orang-orang Palestina hidup di tanah air mereka sendiri.

Yang jadi pembeda adalah pihak Palestina tidak berbuat banyak untuk membentuk lembaga-lembaga negara. Mereka tidak siap. Dan, ketika PBB mengeluarkan resolusi untuk membagi wilayah Palestina, pihak Yahudi telah siap untuk menjalankan pemerintahan lengkap dengan segala perangkatnya. Mereka pun siap untuk perang dalam jangka panjang sekalipun. Sementara pihak Palestina lebih banyak mengandalkan negara-negara Arab, yang juga dalam kondisi susah akibat penjajahan dan persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing. Akibatnya, ketika terjadi perang, mereka pun tak berdaya.

Catatan kedua, sebuah perjuangan membutuhkan kesabaran, ketabahan, dan kelihaian untuk menghadapi dunia yang terus berubah. Perang Dunia I dan II serta hasil-hasilnya telah membawa pengaruh besar kepada orang-orang Yahudi, Arab, dan Palestina. Pun Perang Dingin dan kemudian runtuhnya Uni Sovyet berikut akibat-akibat yang menyertainya. Juga peristiwa serangan 11 September 2001 yang telah meluluh-lantakkan Gedung Kembar World Trade Center di New York.

Bagi pihak-pihak yang berkonflik atau sedang berjuang mewujudkan kemerdekaan diperlukan kemampuan untuk bisa menghadapi dan memanfaatkan setiap perkembangan. Termasuk, dan inilah yang menjadi catatan ketiga, bahwa perubahan besar hanya akan terjadi bila ada perundingan antara Arab dan Yahudi. Juga antara Yahudi dan Palestina. Perjanjian Camp David telah berhasil mengembalikan Sinai ke pangkuan Mesir. Bagitu pula dengan perundingan Yordania dengan Israel. Juga perundingan Oslo yang untuk pertama kalinya memberikan Otoritas Palestina kewenangan terbatas memerintah Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Kini semuanya kembali kepada pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemimpin Palestina. Apakah mereka akan membiarkan Palestina terpecah antara faksi Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Jalur Gaza serta terus terancam kekerasan dari Israel serta melupakan kemerdekaan? Ataukah mereka akan bersatu dan merespon positif semua perkembangan yang sedang dan akan terjadi? Namun, yang perlu dicatat, Perang 1948, 1956, 1967, 1973, serta Intifadah I dan II, kedua belah pihak tidak ada yang bisa menang telak. Israel tidak bisa mengenyahkan perjuangan Palestina dan sebaliknya Palestina juga tidak bisa melempar Israel ke laut.

Arthur James Balfour boleh saja dilaknat dan diteriaki si keparat, lantaran 100 tahun lalu telah merilis Deklarasi Balfour yang menjadi cikal bakal negara Zionis Israel di wilayah Palestina. Namun, meratapi nasib berkepanjangan tak akan ada gunanya. Para pemimpin Palestina dan negara-negara Arab harus mampu merespons positif perkembangan dunia, termasuk perubahan kekuatan global, untuk kepentingan perjuangan bangsa mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement