Ahad 20 Aug 2017 11:34 WIB

Hijrah Siliwangi, Hatta, Sudirman: Negara Ini Warisan Bersama!

Bung Hatta menyalami pasukan Siliwangi yang tiba di Stasiun Yogyakarta, Februari 1948.
Foto:
Jendral Sudirman tiba di Stasiun Manggaria 1946.

Namun, karena taat sama pemerintah, Pak Dirman pulang.  Dan kedatangan Pak Driman disambut dengan upacara kebesaran militer di Alun-Alun Utara. Saat itu Pak Dirman menyalami seluruh komandan pasukannya, di antaranya memeluk Komarudin salah satu komandan peleton pasukan di Yogyakarta yang dulu teledor melakukan penyerangan sehari sebelum 1 Maret 1949. Dengan haru Pak Dirman memeluk Komarudin, dan Komar pun memeluk panglima dengan menangis sesunggukan dibahunya sembari meminta maaf.

‘’Tidak apa-apa Komar,’’ kata Pak Dirman sembari menepuk-nepuk punggung Komarudin.

Setelah mengikuti upacara itu kemudian Pak Dirman pergi menemui Presiden dan Wakil Presiden di Istana Jogja. Ketika bertemu, Bung Karno terkejut melihat kondisi panglimanya yang begitu kurus dan terlihat begitu sakit. Bung Karno langsung memeluk Pak Dirman bersemangat. Sedangkan Pak Dirman membalas pelukan itu dengan bahasa tubuh biasa saja karena masih merasa tidak 'sreg' karena tidak menang perang secara total itu.

Pada peristiwa pelukan ini, karena posenya tidak bagus dan Pak Dirman terlihat kaku, Bung Karno meminta agar pelukan dengan Pak Dirman diulang. Juru foto istana, Mendur yang saat itu ada di dekat Bung Karno, pun memotretnya kembali. (Lihat gambar di sebelah kiri: Tentara Siliwangi tiba di Stasiun Yogyakarta).

Setelah peristiwa itu, kesehatan Pak Dirman makin memburuk. Dan tak lama berselang setelah perjanjian Konfrensi Meja Bundar ditandtangai di Denhaag pada akhir Desember 1949, atau sellang satu bulan pekan dari peristiwa itu, Pak Dirman wafat, 29 Januari 1950. Dan pada upacara kenegaraan pemakamannya di Taman Makam Pahlwan Semaki Jogjakarta, mantan kurir dan orang kepercayaannya untuk menjaga keamanan ibu kota RI di Yogyaarta, Suharto menjadi komandan upacaranya.

Akhirnya sejarah itu memang berwarna dan tak hanya milik sang penguasa. Bung Karno, Bung Hatta, Sudirmaan, hingga Komaruddin dan Kartosuwiryo itu adalah kenyataan sejarah Indonesia. Yang terpenting tidak ada pun satu orang yang merasa paling berhak atas negara dan bangsa ini!

Ingatlah selalu, negara ini adalah warisan dari banyak orang!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement