REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menolak rencana pemerintah pusat menaikkan anggaran untuk dana desa secara signifikan. Langkah ini dinilai kurang tepat karena akan menimbulkan gejolak dalam pengelolaan di tingkat bawah.
Bendahara Umum Apdesi Abdul Hadi mengatakan, menaikkan dana desa sebesar 100 persen di tahun depan bukanlah cara bijak. Banyak hal yang perlu dievaluasi dalam pelaksanaan penggunaan dana desa. PR inilah yang menurutnya perlu diselesaikan terlebih dahulu.
"Pesan saya tidak terus naik tajam, step by step dipelajari. Saya khawatir kalau (dana desa naiknya) tinggi-tinggi, jatuhnya sakit," kata dia dalam sebuah diskusi bertajuk 'Dana Desa untuk Siapa' di Jakarta, Sabtu (19/8).
Menurutnya, beberapa PR yang perlu diselesaikan terlebih dahulu adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas pendamping dana desa. Kemendes dan Kemendagri bisa bekerjasama menyelenggarakan pelatihan bagi pendamping. Hal itu menjadi penting lantaran sentralnya peran pendamping dalam penggunaan dana desa.
Hadi menambahkan, sistem pengawasan dana desa juga harus diperketat. Kasus dugaan suap terkait penanganan perkara dana desa yang muncul di Pamekasan beberapa waktu lalu berpangkal dari kurangnya pengawasan di tingkat bawah. Dia berharap hal-hal seperti itu tak terjadi lagi jika sistem pengawasan dibenahi.
Seperti diketahui, pemerintah berencana menaikkan dana desa dari Rp 60 triliun yang dikucurkan tahun ini. Rata-rata per desa menerima sebesar Rp 800 juta. Tahun 2018 ada rencana dinaikkan lagi sebesar 100 persen menjadi Rp 120 triliun dan setiap desa menerima sebesar Rp 1 miliar lebih.