Jumat 18 Aug 2017 07:40 WIB

Mental Inlander: Perlukah Berterima Kasih Atas Penjajahan Belanda

Lasykar rakyat dalam pemberontakan petani dan ulama di Banten, tahun 1888.
Foto: KTLV
Lasykar rakyat dalam pemberontakan petani dan ulama di Banten, tahun 1888.

Oleh Dr Syahganda Nainggolan*

Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta, yang juga menjadi calon gubernur Jawa Barat, menyampaikan pandangan kontroversial dua hari lalu, yakni mengatakan, seharusnya kita berterima kasih kepada Belanda. Dedi menyatakan positifnya Belanda yang membangun sistim irigasi yang kuat dan kokoh yang bisa 
mengatur manajemen air untuk pertanian dengan baik. Dan meninggalkan aset itu serta perkebunannya buat kita.

Pandangan ini berbeda dengan pandangan Ir Soekarno, alumnus arsitektur ITB, ketika menyampaikan pandangannya di pengadilan "Landraad" atas dirinya, dengan tuduhan 'Makar' untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, di Bandung pada tahun 1930, dengan pleidoi yang sangat monumental "Indonesia Menggugat".

Dalam pleidoi itu Bung Karno mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur yang dibuat Belanda, seperti sistem irigasi, bukanlah semata mata ditujukan buat petani kita, melainkan kepada kebun kebun Belanda secara utama dan sisa airnya baru diterima petani kita.

Tentu saja Dedi Mulyadi belum sampai kepada tingkatan pemikiran Bung Karno tersebut. Hal ini terjadi karena apa yang disebut "seeing is believing", seseorang memercayai apa yang dilihatnya tanpa mendalami lebih jauh apa di balik yang terlihat tersebut.

Dalam "seeing is believing", penglihatan fisik menjadi acuan utama. Sedang masalah esensi menjadi sekunder. Dalam kasus sistem irigasi ini, Dedi melihat hebatnya infrastruktur irigasi tersebut karena kokoh dan bertahan sampai saat ini.

Sedangkan Bung Karno, selain melihat infrastruktur pertanian, juga mengkritik pembanguna infrastruktur lainnya, seperti jalan, pelabuhan, dan kereta api yang dibangun Belanda lebih dimaksudkan untuk memudahkan pengambilan rempah-rempah dan kekayaan alam lainnya secara lebih mudah untuk diangkut ke Belanda.

Mengapa Dedi Mulyadi gagal melihat apa yang dilihat Sukarno? Bukankah ada contoh irigasi di Indonesia yang menjadi "World Heritage" yang mengagumkan dunia? Yakni, Subak di Bali.

Subak di Bali selain diakui UNESCO, juga menjadi bahan riset berbagai perguruan tinggi dunia karena kecanggihan manusianya secara kolektif mengatur pembagian air. Meski Subak sebuah infrastruktur yang canggih dan indah, kerja sama dan tanggung jawab petani menjadi utama. Artinya, irigasi ini dari petani untuk petani. Sebuah kemandirian rakyat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement