Kamis 17 Aug 2017 01:00 WIB

Sukarno, Sukarni, dan Revolusi

Potret Sukarno tahun 1961.
Foto: Gahetna.nl
Potret Sukarno tahun 1961.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Hadi Supeno *)

Peringatan Proklamasi Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus, selalu menyebut nama Sukarno, karena dialah bersama Bung Hatta yang bertindak sebagai Proklamator.

Dan menyebut nama Sukarno sekitar peristiwa Proklamasi, selalu ingat nama Sukarni. Dialah tokoh muda dari organisasi Angkatan Baru yang mendesak Bung Karno untuk memimpin revolusi merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Jepang.

Kehadiran Sukarni dalam pentas sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia sebenarnya sudah cukup lama, dimulai tahun 1937 ketika ia memimpin Partai Indonesia Muda. Namun peristiwa Rengasdengklok tetaplah mengagetkan banyak pihak.

Mengganggu elite

Sutan Syahrir, misalnya, tampak dongkol dengan tampilnya Sukarni di saat yang paling bersejarah. Dalam bukunya Out of Exile misalnya, ia menyebutnya bahwa peristiwa penculikan ke Rengasdengklok telah menggangunya karena telah mengakibatkan sebuah kelompok manusia tiba-tiba timbul dan naik pangkat untuk masuk ke lingkaran elit politik saat itu.

Bung Karno tegas menyatakan bahwa tindakan Sukarni dan teman tanggal 16 Agustus dini hari sebagai perbuatan yang salah karena memaksakan kehendak untuk merebut kemerdekaan yang disebutnya sangat berbahaya dari sisi keamanan publik.

Mengancam dan meneror

Di dalam buku "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonedua" karya Cindy Adams, (1966), ia mengungkapkan bahwa pada tanggal 15 malam para pemuda datang sambil mengancam.

"Situasi mungkin memburuk besok. Para pengikut kami sudah gelisah. Kalau Bung Karno tidak bertindak seperti yang telah kami janjikan, mereka akan menjadi liar. Dan Bung yang harus bertanggung jawab dari apa yang terjadi itu".

Jelas Bung Karno sangat tersinggung atas ancaman ini. Memangnya mereka siapa? Mengapa harus main ancam-ancam dan teror?

Tanpa ancaman ini, Bung Karno bersama tokoh lain sedang gencar-gencarnya mempersiapkan peralihan kekuasaan dari penjajah Jepang kepada pemerintahan Indonedia. Dasar negara sudah disepakati oleh BPUPKI dan Panitia Sembilan sebagaimana tertuang dalam Piagam Djakarta 22 Juni 1945, yang diancangkan sebagai Preambul UUD 1945. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia juga terus bekerja untuk menyambut peralihan kekuasaan. Awal Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta dipanggil pemerintah Jepang ke Saigon untuk persiapan alih kekuasaan, jika saatnya tiba. Semuanya sudah siap, dalam versi pejuang-pejuang tua yang bekerja dengan segala macam perhitungan.

Merdeka sekarang juga

Namun di mata pemuda, mereka sangat lembek, bertele-tele, penuh sopan santun. Kaum muda inginnya sekarang juga. Apalagi setelah mendengar kabar dari Radio bahwa tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu menyusul dijatuhkannya bom atom tanggal 6 Agustus di Nagasaki dan tanggal 9 Agustus Hiroshima. Bung Karno dan Bung Hatta terlambat memperoleh info ini karena tengah dalam penerbangan pulang dari Saigon.

Kamis 16 Agustus 1945 dini hari, saat Bung Karno tengah makan sahur, segerombolan anak muda menggedor pintu rumahnya. Sukarni tampil paling depan, disusul Wikana, dengan membawa kelewang telanjang memaksa Bung Karno dan Bung Hatta meninggalkan Jakarta menuju Rengasdengklok. (Cindy Adam: 1966. Hal 255).

Bung Karno, juga Bung Hatta, dan kemudian juga para sejarawan, menyebutnya ini sebagai petistiwa penculikan.

Bung Karno mentertawakan peristiwa ini karena menurutnya tak berarti apa-apa bagi persiapan kemerdekaan Indonesia. Sebaliknya waktunya menjadi tetbuang percuma. Sepeninggal Bung Karno ke Rengasdengklok tak terjadi apa-apa kecuali kepanikan elit politik karena Sukarno-Hatta tak ada di tempat. Sementara itu, revolusi yang dijanjikan anak-anak muda tidak ada bukti. Pulanglah sore tanggal 16 Agustus 1945 Sukarno-Hatta ke Jakarta setelah dijemput Mr Subarjo. Malam itu jugalah, Bung Karno menyusun konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang kita kenal selama ini.

Motivasi penculikan

Pertanyaanya adalah, apa sesungguhnya yang mendorong para pemuda memaksa dan menculik Sukarno-Hatta? Pertama, kaum muda tidak mau kehilangan momentum pasca penyerahan Jepang kepada Sekutu. Selagi moral tentara Jepang merosot, dan tentars Sekutu belum datang, para tokoh pergerakkan harus ambil sikap, tentukan tindakan konret.

Kedua, kaum muda tidak mau bahwa kemerdekaan ini merupskan hadiah dari Jepang. Mereka mendengar, Jepang lewat Bung Karno-Bung Hatta  menjanjikan kemerdekaan Indonesia tanggal 25 Agustus 1945. Jika ini yang terjadi, berarti Indonesia menerima kemerdekaan sebagai hadiah. Di mana kehormatan sebagai bangsa?

Ketiga, kaum muda memperoleh informasi, pasca penyerahan Jepang kepada Sekutu, keadaan sangat genting. Tentara Jepang tak mau menyersh begitu saja, sementara banyak tokoh politik saling bermain sendiri sesuai kepentingan mading-masing. Bung Karno selaku tokoh sentral harus diamankan, agar tidak larut dalam konflik elite politik, serta jauh dari pengaruh penguasa Jepang. Maka jika saatnya Proklamasi tiba, adalah Proklamasi yang penuh kehormatan, bukan proklamasi hadiah cuma-cuma. Bila perlu kemerdekaan harus direbut dengan revolusi.

Sukarni juga tegas mengatakan, yang tanda tangan pada teks Proklamasi hanya Sukarno dan Hatta, bukan tokoh/tokoh lain, apalagi pimpinan tentara Jepang. (Emalia Iragiliati Sukarni. Sukarni dan Actie Rengasdengklok. Ombak. 2013. Hal 140).

Mengakui Sukarni

Jalan pikiran Sukarni cukup beralasan karena kemunculan Bung Karno dan Bung Hatta dari pengasingan karena panggilan Dai Nipon, agar keduanya membantu pergerakkan Jepang menuju Asia Timur Raya. Sukarno-Hatta pula yang berkampanye pembentukan Pembela Tanah Air (Peta) di bawah kontrol Jepang. Sukarni dan kawan-kawan ingin, kedua tokoh ini lepas dari pengaruh Jepang.

Belakangan banyak pihak mengakui heroisme Perkumpulan Indonesia Baru di bawah pimpinan Sukarno. Sejarawan Anderson mencatat Sukarni adalah tokoh muda berpengaruh yang berhasil mempengaruhi langkah para pejuang tua.

Salah seorang sahabatnya, KH Saifuddin Zuhri mencatat:"...Sukarni harus dicatat sebagai pejuang benar-benar, pelopor, penggebrak dan pendobrak benteng kolonialisme untuk menegakkan gerbang kemerdekaan Indonesia".

Tokoh wartawan senior almarhum BM Diah tanpa ragu menyebut Sukarni adalah pahlawan yang mempercepat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bung Karno sendiri akhirnya mengakui kualitas laki-laki kelahiran Blitar 14 Juli 1916 ini dengan mengangkatnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk RRC tahun 1964.

Nah, masihkah kaum muda hari ini punya nyali untuk andil memberikan kontribusi ikut memengaruhi arah kebijakan penguasa? Di sini, kaum muda layak meneladani pemuda heroik bernama Sukarni.

Dirgahayu Indonesia.

*Penulis adalah seorang freelance, tinggal di Banjarnegara, Jawa Tengah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement