Senin 14 Aug 2017 16:32 WIB

Monolog Kekuasaan

Dahnil Anzar Simanjuntak
Foto: Dok Pribadi
Dahnil Anzar Simanjuntak

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dahnil Anzar Simanjuntak*

 

Sanjungan dan pujian seringkali membuat seseorang kehilangan kesadaran reflektif tentang kekurangan dirinya. Apalagi, sanjungan dan pujian itu dialamatkan kepada kekuasaan. Penguasa yang merasa dirinya kuat, akan sulit untuk berdialog melalui koreksi dan kritik, karena semua kritik dimaknai sebagai kebencian. Kalau pun ada dialog, dialog itu dimaknai sebagai formalitas untuk mendengar namun tidak dibangun sebagai upaya reflektif untuk melakukan perbaikan.

Bagi mereka di sekeliling kekuasaan tersebut, upaya dialog konstrukstif melalui kritik tajam, agaknya penuh dengan risiko. Apalagi dialamatkan kepada penguasa yang konstruksi kebudayaan dibangun dari sisa kebudayaan monarki, raja yang tidak pernah salah dan harus selalu benar.

 

Molonog kekuasaan seringkali melahirkan diktatorian. Karena kebijakan dibangun didasari oleh perspektif kebenaran versi kekuasaan. Pada saat ini, monolog kekuasaan itu didesain dengan pilihan-pilihan diksi ancaman terhadap identitas kebangsaan. Seperti ancaman terhadap upaya merusak Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

Mereka-mereka yang dituduh berpotensi merusak identitas kebangsaan tersebut pun diasosiasikan kepada satu kelompok saja, yakni kelompok Islam. Maka, terbitlah narasi Islam radikal, Islam garis keras, Islam antitoleransi, Islam Marah, dan berbagai atributasi yang diberikan untuk mendegradasi kelompok yang dianggap sebagai ancaman politik bagi kekuasaan.

Upaya degradasi politik itu pun dilakukan dengan memecah belah kelompok Islam itu sendiri. Sederhananya, monolog kekuasaan bisa terus dirangkai narasinya dengan memberikan 'besek' yang cukup kepada kelompok yang siap menjadi benteng dan prajurit serang kelompok lain yang dituduh menjadi ancaman identitas kebangsaan.

 

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013, adalah salah satu produk monolog kekuasaan yang dipertontonkan. Dengan menyebut ada kegentingan dan ancaman serius terhadap Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) penguasa bisa membubarkan organisasi kemasyarakatan mana saja tanpa perlu melalui proses peradilan.

Proses peradilan yang adil dan obyektif ditiadakan. Mereka yang dituduh mengancam Pancasila dan NKRI tidak memiliki kesempatan membela diri di pengadilan. Sementara itu dalam berbagai pidato selalu bicara tentang pentingnya negara dibangun berdasarkan hukum dan demokrasi, faktanya hukum dicampakkan, subyektifitas penguasa dikedepankan.

 

Laku serupa monolog kekuasaan, pun terjadi pada tuduhan dan stigma-stigma Islam radikal dan Islam garis keras yang dialamatkan kepada mereka yang pada saat Pemilihan Langsung Kepala Daerah DKI Jakarta, beberapa waktu lalu, khususnya kepada kelompok atau individu yang tersinggung dan marah dengan lisan Basuki Tjahya Purnama, Gubernur DKI Jakarta yang saat ini telah menjadi narapidana. Tidak ada ruang dialog. Yang ada adalah berbagai stigma dan tuduhan antitoleransi. Ketika tekanan dan kemarahan terakumulasi melalui gerakan massa, barulah upaya dialog dilakukan. Itu pun tetap bersiasat sambil tetap memproduksi narasi-narasi tuduhan antitoleransi dan anti NKRI.

 

Narasi-narasi mencekam dan menakutkan, diproduksi melalui laku monolog sang penguasa. Ada bahaya ancaman kelompok radikal, ancaman kelompok anti-NKRI, menjadi narasi yang paling rajin diucapkan dalam pidato dan rapat-rapat pemerintah, bahkan dalam diskusi-diskusi publik.

Ganjilnya, ancaman terhadap Pancasila dan NKRI itu alamatnya selalu ditujukan ke kelompok Islam. Bila dikatakan ada ancaman yang serius dilakukan oleh kelompok Neo-PKI, ramai-ramai penguasa dan pengikutnya, menyebut tidak ada itu Neo-PKI.

Miskin dialog, kelompok atau pihak yang skeptis dan berusaha membangun dialog berusaha mengoreksi narasi-narasi yang diproduksi oleh kekuasaan tersebut segera dilabeli sebagai pembela teroris atau sudah terjangkiti kelompok radikal. Padahal, dialog adalah jalan untuk melihat sisi lain mengapa ada fenomena kebisingan publik yang ramai, mengapa muncul kekecewaan terhadap pemerintah yang begitu massif dari kelompok Islam khususnya sehingga bisa ditemukan solusi yang paling tepat untuk menyelesaikan kebisingan yang tidak produktif tersebut. Bukan justru terus mempraktikkan narasi-narasi monolog dengan menuduh bahkan kini jalan yang dipilih adalah represifitas melalui Perpu Nomor 2 Tahun 2017 yang justru akan melahirkan kebisingan yang lebih ramai.

 

Jangan kunci dialog

 

Pancasila adalah produk dialog, konsensus kita sebagai bangsa dan negara. Ancaman dan upaya merusak konsensus itu sama artinya dengan merusak kehidupan kita sebagai bangsa dan negara. Namun, tidak boleh terjadi tuduhan perusak konsensus hadir sesuai selera penguasa, produk monolog kekuasaan. Sejatinya yang merasa terancam adalah kekuasaan, kemudian dibelokkan menjadi ancaman terhadap Pancasila dan NKRI.

 

Habermas, Filsuf Jerman, dalam bukunya Theorie des kommunikativen Handelns menekankan pentingnya aksi komunikatif sebagai unsur penyatu di dalam masyarakat yang beragam. Aksi komunikatif adalah bentuk dialog dengan memperhatikan  tiga klaim dasar, yakni klaim kebenaran, klaim kejujuran dan klaim komprehensibilitas.

Artinya, tiga klaim tersebut menjadi ukuran, ketika orang berbicara. Apakah pembicaraannya bisa dipertanggungjawabkan kebenaran, kejujuran dan komprehensibilitasnya?

 

Maka, jalan dialog jangan pernah diblokade oleh syahwat kekuasaan yang tidak berujung dan bertepi itu. Jalan dialog yang dilalui dengan niat baik, akan menghasilkan sikap reflektif yang positif bagi bangsa dan negara. Karena kekuasaan bisa dikoreksi dengan terbuka, kekuasaan juga bisa melakukan perbaikan dengan penuh suka.

Silakan, kekuasaan menyampaikan klaim-klaimnya dan buktikan melalui mekanisme hukum yakni pengadilan yang jujur. Tidak mempertontonkan kekuasaan dengan monolog sombong, tentu ketika prosedur-prosedur obyektif dan benar telah dilakukan kelompok yang terbuka dengan dialog dan skeptis dengan monolog dan tuduhan atau klaim penguasa.

Ketika dipaparkan fakta dan bukti otentik, sang penguasa akan menerima. Karena substansi dari dialog adalah menerima kebenaran yang telah teruji kebenarannya, kejujuran dan komprehensifitasnya menjadi fakta, bukan desas-desus dan tuduhan stigmatisasi produk monolog kekuasaan. Karena tidak semua kelompok bisa diselesaikan dengan pendekatan 'dialog besek' tanpa peduli kebenaran, kejujuran dan komprehensifitas dari klaim-kalim tersebut.

Juga rela merusak persatuan dan persaudaraan dengan 'besek-besek' itu. Karena bagi sebagian besar anak negeri, yang paling dibutuhkan adalah dialog untuk menghadirkan kebenaran, meskipun kebenaran itu seringkali pahit. Maka berhentilah mempertontonkan monolog kekuasaan dan mari hadirkan dialog. Karena dialog adalah ciri manusia-manusia yang jiwa dan pikirnya tidak kosong, ciri orang-orang berpikir dan beradab. Wallahu Alam Bihawab

 

*Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement