REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) meminta agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan memperhatikan aspirasi masyakarat terkait kebijakan full day school (FDS). Pasalnya, penolakan terhadap kebijakan ini semakin menguat di kalangan masyarakat yang aktif di lembaga pendidikan keagamaan dan juga ormas keagamaan.
“Penerapan lima hari sekolah tak sesuai dengan karakteristik dan keragaman lembaga pendidikan di Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah pendidikan keagamaan yang sudah berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka,” ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Data, dan Informasi Mastuki di Jakarta, Kamis (10/08).
Menurut Mastuki, karakteristik pendidikan keagamaan Islam di Indonesia sangat unik. Di samping beragam jenisnya, ciri pendidikan keagamaan itu adalah mandiri, berstatus swasta dan milik masyarakat. Kemenag mengelola dan bertanggung jawab terhadap berbagai lembaga pendidikan keagamaan itu, baik formal maupun non formal.
Tiga di antaranya yang bersinggungan langsung dengan penerapan lima hari sekolah adalah madrasah, diniyah, dan pesantren. Menurut dia, pembelajaran di ketiga lembaga itu sangat unik, khas, dan berorientasi pada pembentukan karakter keislaman yang kental.
"Lima hari sekolah bukan hanya sulit diterapkan di madrasah, diniyah dan pesantren, tapi juga akan mengacaukan dan berakibat tumpang tindihnya pembelajaran di lembaga-lembaga ini. Makanya, kalau ada ormas Islam yang menolak lima hari sekolah, dapat dimengerti dari sisi ini," ucapnya.
Mastuki menilai, penerapan lima hari sekolah jika dipaksakan untuk diterapkan di semua lembaga pendidikan, selain tidak produktif juga akan meningkatkan perlawanan dari masyarakat terhadap pemerintah.
Data Kementerian Agama mencatat, setidaknya 233.949 lembaga pendidikan Islam yang berpotensi terkena imbas lima hari sekolah jika dipaksakan untuk diterapkan pada semua level.
Dari jumlah itu, 14.293 pondok pesantren menyelenggarakan sekolah dan madrasah. Selain itu, ada 84.796 Madrasah Diniyah Takmiliyah yang terancam bermasalah dengan pola pembelajaran delapan jam dalam sehari.
Karena itu, Mastuki menyarankan lima hari sekolah tidak dipaksakan kepada masyarakat. Dia berharap Kemendikbud dapat menghargai inisiatif dan kontribusi pendidikan yang telah diselenggarakan masyarakat selama ini. “Lebih baik fokus pada pembentukan karakter yang bisa diterima oleh semua pihak,” katanya.