REPUBLIKA.CO.ID,KABUPATEN BOGOR -- Biaya per bulan untuk Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten Bogor masih diberlakukan. Meski demikian, untuk biaya masuk sudah ditiadakan. Selain itu, ada mekanisme subsidi untuk siswa yang dianggap tidak mampu.
"Untuk pendidikan menengah, khususnya SMK/SMA, sesuai undang-undang masih diperbolehkan meminta sumbangan atau fasilitasi dari orang tua," ujar Kepala Sekolah SMKN 1 Bojong Gede Dadan Supriatno saat ditemui Republika pada Selasa (8/8).
Dadan menuturkan, sebelumnya sekolah harus membuat perencanaan biaya selama 1 tahun. Kemudian dari rencana anggaran tersebut, akan didanai dari Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan pemerintah pusat dan bantuan pendidikan dari pemerintah provinsi.
Untuk SMK Negeri 1 Bojong Gede, imbuh Danan, sudah tidak ada lagi Dana Sumbangan Pendidikan (DSP) sejak tahun 2016. Namun demikian, SPP masih diberlakukan untuk membiayai kegiatan yang tidak terakomodir dana dari pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (permendikbud) No. 75 Tahun 2016.
"Kita mimpinya mah, karena SMK diminati kelas menengah ke bawah, pengennya gratis. Tapi belum bisa. Walaupun sudah diakomodir oleh provinsi tapi belum semuanya, maka masih butuh dari orang tua," keluh Danan.
Wakil Kepala Sekolah SMKN 1 Bojong Gede Andi mengonfirmasi bahwa DSP ditiadakan karena tidak ada payung hukum yang kuat. Meskipun itu merupakan sumbangan dari masyarakat berdasarkan kesepakatan. "Tapi karena memberatkan dan setelah dianalisis keuangan cash flow kita mencukupi hanya dengan SPP dan sudah ada BOS dari pusat dan provinsi," ujarnya kepada Republika.
Meski demikian, Andi mengeluhkan bahwa sekolah tidak bisa mengembangkan pembangunan. Ia berpendapat bahwa dengan DSP yang sebesar Rp 3,5 juta, sekolah bisa mendanai pembangunan yang tidak terakomodir dari pusat.
Untuk dana BOS dari pusat sebesar Rp 1,4 juta per siswa per tahun. Dicairkan secara bertahap per 3 bulan. Sedangkan untuk bantuan pendidikan dari provinsi sebesar Rp 500 ribu per siswa per tahun.
Dana BOS hanya bisa digunakan untik rehabilitasi gedung sekolah. Seperti fungsi perawatan fasilitas yang rusak. Sedangkan untuk membangun gedung baru tidak dibenarkan.
"Dengan tidak adanya DSP pembangunan menjadi tidak cepat. Karena dengan BOS maka ada alur birokrasi yang tidak mudah," jelas Andi.
Republika juga menemui Fauzan, siswa kelas XI SMKN 1 Bojong Gede. Ia membenarkan bahwa biaya yang dipungut dari sekolah hanya untuk SPP sebebsar Rp 275 ribu. Sedangkan untuk uang pangkal atau DSP sudah ditiadakan.
"Itu kita bayar sejak awal masuk, udah termasuk seragam dan buku. Ga ada pungutan - pungutan yang lainnya," ujar siswa jurusan perhotelan tersebut di sela - sela istirahat siangnya.
Ketika ditanyai terkait rencana pembebasan SPP di masa yang akan datang, Danan mengaku bahwa itu hal yang sulit. "Karena SMK kan cost nya mahal. Bahkan di negara maju juga masih butuh biaya. Kalau pendidikan itu tanpa dana mau berkualitas bagaimana ?" Kata Danan.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi V DPRD Jawa Barat Yumanius Untung juga mengkonfirmasi bahwa sekolah masih dibenarkan untuk menarik biaya SPP. "Tetapi harus wajar, mengacu pada kebutuhan," ucapnya saat dihubungi Republika.
Sedangkan untuk DSP, Yumanius mengatakan bahwa hal tersebut masih diperbolehkan atas kesepakatan dengan orang tua murid. Dengan syarat tidak boleh membebani peserta didik yang tidak mampu.
Pada kesempatan yang sama Yumanius juga menyampaikan beberapa kritik atas kebijakan alih kelola SMA/SMK dari tingkat Kabupaten/Kota ke tingkat Provinsi. Menurutnya, sejauh ini kebijakan tersebut sudah pada jalur yang benar.
Namun demikian, sejauh ini Dinas Pendidikan Provinsi dipandang masih harus melakukan banyak intropeksi. "Kita menyadari bahwa disdik itu memang belum punya pengalaman untuk mengelola pendidikan menengah. Karena ini UU baru, diimplementasikan pada tahun 2017. Sehingga masih adaptasi," tutup Yumanius.
Danan juga menyambut baik alih kelola tersebut. Ia mengapresiasi alih kelola tersebut sebagai wujud dari implementasi otonomi daerah. Sehingga dapat menyederhanakan alur birokrasi. "Tapi belum maksimal. Mudah-mudahan dengan lebih dekat lagi ke provinsi, akan lebih baik," katanya.
Saat dihubungi Republika, Kepala Humas Disdik Kabupaten Bogor Roni tidak bisa memberikan penjelasan terkait alih kelola SMK dan biaya SPP yang masih diterapkan. Pasalnya, saat ini pengelolaan sudah berada di bawah kewenangan Dinas Pendidikan Provinsi. Sementara itu, Kepala Disdik Provinsi Jawa Barat Ahmad Hadadi, tidak bisa dihubungi oleh Republika untuk mengonfirmasi hal tersebut.