Rabu 09 Aug 2017 13:36 WIB

Ini Alasan Rhoma Irama Gugat UU Pemilu

Rep: Santi Sopia/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Umum Partai Islam Damai Aman (Idaman) Rhoma Irama (kanan) mengajukan uji materi UU Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (9/8).
Foto: Republika/Santi Sopia
Ketua Umum Partai Islam Damai Aman (Idaman) Rhoma Irama (kanan) mengajukan uji materi UU Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (9/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Islam Damai Aman (Idaman) Rhoma Irama mendaftarkan uji materi UU Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (9/8). Rhoma menggugat terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold 20 hingga 25 persen yang disahkan DPR RI tersebut. Kedua, Rhoma mempersoalkan mengenai verifikasi partai.

"Bahwa Pemilu itu dilaksanakan secara bebas, umum, rahasia, jujur dan adil. Jujur dan adil. Segala warga negara sama kedudukannya," kata Rhoma di Gedung MK.

Rhoma menolak Pasal 222 UU Pemilu 2019, karena syarat sudah pernah digunakan pada Pemilu Tahun 2014 sehingga sangat tidak relevan dan kedaluarsa ketika diterapkan sebagai prasyarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan secara serentak bersamaan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada tahun 2019. Sehingga dalam posisi demikian maka seluruh Partai Politik dalam posisi yang sama yakni Zero persen Kursi atau Zero Suara Sah (dimulai dari nol).

Selain itu, menurut pria yang akrab disapa Bang Haji itu, peta politik sudah berubah, tidak lagi dominan partai tertentu. Dia mencontohkan suara Partai Demokrat pada sebelum dan sesudah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencalonkan diri sebagai presiden.  "Jadi ada dinamika, fluktuasi. Bahwa yang dulu partai kecil, persentasinya lebih besar. Sangat tidak make sense kalau pakai presidential treshold," kata Bang Haji.

Bang Haji mengatakan alasan menggugat UU Pemilu juga dikarenakan untuk mencegah politik transaksional. Aturan presidential treshold dinilainya menutup menutup konstitusional untuk memilih calon presiden. Partai Idaman juga menginginkan verifikasi partai dilakukan secara adil.

"Misalnya kalau verifikasi, seharusnya verifikasi seluruh partai, baik yang existing maupun yang baru. Sehingga ada unsur keadilan. Kalau verifikasi, semuanya harus diverifikasi, kalau tidak, tidak semuanya," kata dia menambahkan.

Rhoma Irama menjelaskan verifikasi peserta Pemilu tahun 2014 mencakup 33 provinsi yang ada di Indonesia. Pada Pemilu 2019 nanti, verifikasi akan bertambah satu provinsi dan 11 kabupaten kota hasil pemekaran (daerah otonomi baru) tahun 2015. Menurutnya, jelas ada perbedaan baik geopolitis.

Sebagai contoh pemekaran satu Kabupaten di Sulawesi Barat yakni Mamuju Tengah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dapat tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai peserta Pemilu tahun 2019 dikarenakan PDIP berdasarkan hasil verifikasi faktual keterwakilan perempuan 30 persen dalam kepengurusan 75 persen Kabupaten/Kota hanya memenuhi syarat di 4 Kabupaten.  Dengan bertambahnya satu Kabupaten di Sulawesi Barat, maka syarat minimal 30 persen perempuan pada 75 persen tersebut adalah lima Kabupaten/Kota. Sehingga apabila hasil verifikasi partai politik tahun 2014 yang digunakan, maka PDIP hanya memenuhi persentase 67 persen.

Batu uji yang digunakan Partai Idalam dalam mengajukan permohonan uji materi di MK adalah Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, Pasal 28 ayat (1) UUD 1945, Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Diketahui, dalam pasal 222 UU Pemilu 2019 yang mengatur presidential treshold, Parpol atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen jumlah kursi di DPR dan/atau 25 persen suara sah nasional dalam Pemilu sebelumnya. Saat ini UU Pemilu masih dalam proses untuk diundangkan dan belum ditandatangi Presiden RI Joko Widodo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement