REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menjadwalkan pemeriksaan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Sebelumnya, KPK menang dalam praperadilan yang diajukan Syafruddin atas penetapan tersangka dirinya.
"Setelah putusan praperadilan tersebut tentu kita akan lalukan pemeriksaan saksi-saksi kembali dan pemeriksaan tersangka," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Senin (7/8)
Namun, Febri belum mengetahui secara pasti kapan penyidik KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap Syafruddin. "Nanti akan kami informasikan lebih lanjut," ucapnya.
Febri mengatakan, saat ini penyidik akan mendahulukan pemeriksaan terhadap para saksi untuk mengungkap kasus. "Pemeriksaan saksi-saksi memang lebih didahulukan dibanding pemeriksaan tersangka. Ini strategi secara umum dalam penanganan perkara," ujarnya.
Sebelumnya, Hakim Tunggal Muchtar Effendi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Syafrudin mengajukan permohonan praperadilan setelahKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Syafruddin sebagai tersangkapenerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)ke Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang merupakan salah satu obligor BLBI pada tahun 2004.
Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi ini sejak pertengahan Maret 2017 lalu. Dia diduga menyalahgunakan wewenangnya dalam kasus ini lantaran menerbitkan 'surat sakti' untuk Sjamsul Nursalim.
Padahal, Sjamsul Nursalim, yang juga bos PT Gajah Tunggal Tbk itu masih memiliki kewajiban atas utang BLBI sebesar Rp3,7 triliun dari total keseluruhan Rp4,8 triliun. Sjamsul Nursalim baru membayar kewajiban itu sebesar Rp1,1 triliun dari aset petani tambak Dipasena. Atas tindakan yang dilakukan Syafruddin tersebut negara ditaksir dirugikan hingga Rp3,7 triliun.