REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyayangkan sikap pemerintah yang tidak melakukan pencegahan terhadap wilayah potensi kebakaran. Sebab, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun ini menyerang daerah yang tidak masuk daftar tahun lalu seperti Aceh, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
Kepala Departemen Kajian, Pembelaan dan Hukum Lngkungan Walhi Zenzi Suhadi mengatakan, Walhi pernah mengingatkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), agar konsentrasi penghentian kebakaran jangan hanya menjadi pemadam. Konsentrasi juga harus pada penyebab kebakaran.
Jika fokus pemerintah kepada penyebab kebakaran maka penghentian karhutla bukan hanya di titik api tahun lalu, melainkan dapat mencegah wilayah yang mulai terancam. Sebab, menurut dia, titik api mengalami peningkatan dalam dua dimensi.
Pertama, frekuensi kebakaran di seluruh perusahan. Kedua, dimensi dalam artian risiko di wilayah yang baru karena api mengikuti di mana investasi pada sektor sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dibuka. "Pergeserean kebakaran kini ke wilayah timur," kata dia saat dihubungi Republika, Senin (7/8).
Ia menyampaikan, Karhutla yang terjadi tahun ini bukan lain juga disebabkan oleh perusahaan yang terlibat pada karhutla 2015. Pada kebakaran tahun 2015, Walhi mencatat ada lebih dari 400 perusahaan yang terlibat.
Namun, sanksi yang diberikan oleh KLHK hanya sanksi administratif dan gugatan kerugian lingkungan. Perusahaan yang betul-betul digugat KLHK mendapat efek jera. Namun jumlah tersebut hanya sedikit.
Sementara kepolisian, menurutnya, tidak mempunyai progress sama sekali dalam konteks penegakan hukum. Kepolisian justru melakukan SP3 di tahun terakhir. "Nah proses terulangnya kebakaran atau pembakaran oleh perusahaan yang sama itu pasti akan terjadi," ujar dia.
Ia melanjutkan, kebakaran bisa terjadi kapan saja, hanya perlu menunggu musim panas. Tingkat ancaman terjadinya karhutla di tanah air masih sama dengan tahun 2015. Sebab, proses pemulihan ekosistem gambut yang dilakukan belum memadai.
Dia mengatakan kondisi belum memadai itu karena izin perusahaan dalam kawasan fungsi lindung gambut belum dicabut. Padahal, jumlahnya telah mencapai lebih dari 270 perusahaan baik kebun sawit maupun HTI yang berada dalam ekosistem gambut fungsi lindung.
Luas area yang ditempati perusahaan di dalam ekosistem fungsi lindung gambut ini mencapai lebih dari dua juta hektare. Status fungsi lindung masih dalam konversi, yang artinya, kekeringan dalam ekosistem gambut masih akan terjadi.
Selain itu, penegakan hukum terhadap pelaku pengrusakan ekosistem gambut seharusnya tidak hanya dilakukan terhadap perusahaan yang melakukan pembakaran tapi juga perusahaan yang sekarang berada dalam fungsi lindung. "Itu mestinya penegakan hukum juga dijalankan disertai dengan restorasi pemulihan,".
Ia menambahkan, jika dua hal itu dilakukan maka risiko kebakaran bisa dinyatakan menurun.