Ahad 06 Aug 2017 02:50 WIB

Tiga Alasan PP "Sapu Jagat" Salah Arah Menurut PSHK

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Bayu Hermawan
Aksi Solidaritas Indonesia untuk Disabilitas (ilustrasi).
Foto: ROL/Fakhtar K Lubis
Aksi Solidaritas Indonesia untuk Disabilitas (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mandat Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas untuk membentuk 15 peraturan pemerintah (PP) akhirnya diringkas hanya menjadi satu PP (PP "sapu jagat") oleh Pemerintah. Koalisi Masyarakat "Tolak PP Sapu Jagat" menyatakan penolakannya berdasar kepada tiga alasan utama.

Ketua Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Fajri Nur Syamsi mengatakan, pemerintah yang diinisiasi oleh Kementerian Sosial (Kemensos) sedang membahas rancangan Peraturan Pemerintah (PP) 'sapu jagat'. Langkah Pemerintah ini keliru, sehingga harus segera dikembalikan kepada amanat asli UU Penyandang Disabilitas.

Ia menjelaskan berdasarkan Undang-Undang, Pemerintah seharusnya membentuk PP secara terpisah, setidaknya untuk 7 PP berdasarkan tugas dan fungsi dari K/L yang tercakup dalam 15 ketentuan PP tersebut.

"Pembentukan PP terpisah itu sesuai dengan semangat yang tertuang dalam CRPD, yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011, yaitu mengimplementasikan disabilitas sebagai isu multisektor dalam pemerintahan. Selain itu, pembentukan PP secara terpisah juga selaras dengan upaya pelaksanaan Sustainable Develepoment Goals (SDGs) yang sedang gencar diupayakan oleh Pemerintah," katanya, Sabtu (5/8).

Fajri mengungkapkan tiga alasan utama mereka menolak itu adalah, pertama, RPP "sapu jagat" bertentangan dengan ketentuan dalam UU Penyandang Disabilitas dan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities CRPD).

Kedua, pengambilan kebijakan penyusunan RPP "sapu jagat" dilaksanakan tanpa pelibatan masyarakat penyandang disabilitas. Dan ketiga, keberadaan RPP 'sapu jagat' menyimpangi semangat dan komitmen dari janji kampanye Presiden Joko Widodo dalam Piagam Soeharso.

Rencana pembentukan PP "sapu jagat", lebih lanjut dikatakan Fajri, jelas bentuk pelemahan terhadap komitmen yang sudah dibangun pemerintah dalam memposisikan isu disabilitas. PP tersebut hanya akan mengembalikan disabilitas sebagai isu belas kasih (charity), karena kembali hanya menjadi bagian dari tugas dan fungsi Kementerian Sosial sebagai inisiator PP 'sapu jagat'.

"Pengambilan keputusan untuk membentuk PP "sapu jagat" juga tidak melibatkan masyarakat penyandang disabilitas. Hal itu jelas mencederai semangat kolaborasi antara Pemerintah dan masyarakat yang sudah mulai terjalin dalam pembentukan berbagai regulasi dalam isu disabilitas sebelumnya," ujarnya.

Dengan kondisi itu, menurutnya, sulit untuk mengharapkan PP "sapu jagat" akan mampu berpihak kepada para penyandang disabilitas di Indonesia. Presiden Joko Widodo diharapkan, harus segera mengambil sikap untuk mengubah kebijakan PP "sapu jagat" menjadi PP yang terpisah.

Ia menambahkan, jangan sampai kebijakan itu melanggar janjinya sendiri yang tertuang dalam Piagam Soeharso.

Dalam poin ketiga Piagam itu disebutkan bahwa Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk 'membangun pemerintahan yang memiliki persepsi bahwa penyandang disabilitas adalah aset bagi negara, bukan beban, termasuk dalam keputusan yang diambil baik berupa kebijakan politik regulasi maupun kebijakan politik anggaran'.

"Presiden Joko Widodo harus tetap mempertahankan keberpihakannya kepada disabilitas dalam setiap keputusan politik dan implementasinya, agar penyandang disabilitas mampu menjadi subjek dalam pembangunan," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement