REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia menyatakan politik uang banyak terjadi menjelang pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Koordinator Divisi Penindakan Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo, mengatakan Bawaslu dapat mendiskualifikasi pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang.
Kewenangan tersebut telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. "Untuk dapat mendiskualifikasi pasangan calon dengan syarat bahwa memang terbukti adanya pelanggaran administratif politik uang yang terstruktur, sistematis dan masif," ujarnya dalam acara diskusi bertema Konsolidasi Pengawasan Partisipatif Penguatan Masyarakat dalam Pengawasan Tahapan Pilkada 2018 di Palembang, Sabtu (5/8).
Menurut dia, kendala dalam penegakan hukum pilkada serentak 2015 terjadi karena ada pembatasan waktu 60 hari sebelum pemungutan suara. Hal ini membuat kasus-kasus politik uang tidak bisa diproses. Hal tersebut, kata dia, terjadi karena ternyata faktanya politik uang banyak terjadi menjelang pemungutan suara atau dikenal dengan serangan fajar dan dengan cara-cara banyak yang dilakukan.
Oleh karena itu, Bawaslu sudah merevisi Peraturan Bawaslu Nomor 13 untuk kemudian menormalkan kembali pembatasan waktu tersebut. "Kami berharap nanti ini bisa selesaikan secepatnya sebelum tahapan dimulai. Jadi, di dalam pembatasan itu kami sudah cantumkan bahwa tidak ada pembatasan waktu 60 hari, tapi batasannya sampai pemungutan suara," jelas Ratna.
Dengan begitu diharapkan seluruh perbuatan yang terindikasi pelanggaran politik uang nantinya bisa diproses sebagaimana yang diharapkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. "Politik uang itu bisa terjadi kapan saja," kata dia. Pilkada serentak akan diikuti sebanyak sembilan kabupaten dan kota di Sumsel dan ditambah pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumsel.