REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berkomitmen menerapkan teknologi bagi petani garam di sejumlah wilayah sentra penghasil garam.
Hal ini ditandai dengan adanya rapat koordinasi yang digelar di rumah dinas Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, dan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto.
Sebagai tahap awal, pilot project teknologi garam ini akan diterapkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kepala BPPT Unggul Priyanto mengatakan, dengan teknologi tersebut Indonesia bisa memproduksi garam dengan lebih efisien dan cepat. Selama ini lahan garam Indonesia terlalu kecil dan proses pembuatannya cenderung tradisional dengan mengandalkan cuaca.
"Lahan kita selama ini terlalu kecil, petani memasukkan air garam, 14 hari, diuapkan. Kalau hujan habis," ujar Unggul yang ditemui usai rapat di kediaman dinas wakil presiden, Jumat (4/8).
Unggul menjelaskan, teknologi garam yang akan diterapkan ini akan mengalirkan air garam kemudian diputar-putar untuk meningkatkan konsentrasinya. Setelah konsentrasinya meningkat, maka bisa dipanen oleh petani dalam empat hari saja. Sebelumnya petani membutuhkan waktu 12 hari untuk memanen garam.
Akan tetapi, untuk menerapkan teknologi ini diperlukan lahan yang luas sehingga dapat menampung air laut yang diputar.
Unggul menambahkan, lahan petani saat ini sekitar 25 ribu hektar. Nantinya, PT Garam akan diberikan tugas untuk menyiapkan lahan-lahannya yang lebih luas agar teknologi tersebut bisa diterapkan.
Selain dijadikan sebagai garam, air laut yang ditampung tersebut juga bisa dimanfaatkan oleh industri untuk membuat minuman isotonik. Unggul menambahkan, lahan juga dapat ditebar benih untuk makan ikan. Apabila pilot project ini berhasil, maka akan diduplikasikan ke sentra produksi garam lainnya seperti di Sulawesi Selatan, Jeneponto, dan Nusa Tenggara Barat.
"Nanti menko maritim yang akan mengkoordinir," kata Unggul.
Melalui teknologi tersebut, diharapkan ke depan Indonesia tidak perlu lagi mengimpor garam. Unggul optimistis, teknologi ini bisa diterapkan ke sentra-sentra produksi garam dengan curah hujan yang jarang.
"Kalau disebar ke berbagai daerah di NTB, NTT, Sulawesi Selatan yang curah hujannya jarang, bisa lah itu," ujar Unggul.