REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Hakim tunggal praperadilan Effendi Mukhtar menolak permohonan yang diajukan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (2/8). Syafrudin mengajukan permohonan praperadilan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Syafruddin sebagai tersangkapenerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)ke Sjamsul Nursalim.
Sjamsul adalah pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang merupakan salah satu obligor BLBI pada 2004. "Mengadili, dalam pokok perkara menolak praperadilan yang diajukan pemohon (Syafiruddin) untuk seluruhnya," ujar Effendi, di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (2/8) sore.
Dengan putusan hakim tersebut, maka penetapan Syafruddin sebagai tersangka dianggap sah. Namun, dalam eksepsi, hakim menolak seluruh eksepsi dari pihak KPK.
Sidang praperadilan Syafruddin sudah bergulir sejak Selasa (25/7) pekan lalu. Selama persidangan, ada tujuh poin sanggahan yang disampaikan Syafruddin melalui kuasa hukumnya. Dalam permohonannya, Syafruddin menyatakan kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI merupakan kasus perdata, yang bukan domain KPK.
Syafruddin menyebut bahwa KPK tak bisa menangani kasus yang diduga merugikan negara hingga Rp 3,7 triliun itu lantaran UU KPK baru ada setelah proses penerbitan itu berjalan. Selain itu, dalam permohonannya, Syafruddin juga menilai kasus tersebut sudahkadaluarsa lantaran melewati batas waktu penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP.
Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi ini sejak pertengahan Maret 2017 lalu. Dia diduga menyalahgunakan wewenangnya dalam kasus ini lantaran menerbitkan 'surat sakti' untuk Sjamsul Nursalim.
Padahal, Sjamsul Nursalim, yang juga bos PT Gajah Tunggal Tbk itu masih memiliki kewajiban atas utang BLBI sebesar Rp 3,7 triliun dari total keseluruhan Rp 4,8 triliun.
Sjamsul Nursalim baru membayar kewajiban itu sebesar Rp 1,1 triliun dari aset petani tambak Dipasena. Atas tindakan yang dilakukan Syafruddin tersebut negara ditaksir dirugikan hingga Rp 3,7 triliun.