REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, M Ali Taher mempertanyakan siapa yang akan mengelola jika penggunaan dana haji itu diberikan kepada pemerintah untuk kegiatan infrastruktrur. Dia juga menanyakan jika investasi tersebut merugi, maka di mana letak kehati-hatian dan prinsip syariahnya.
Di samping itu, Ali Taher mengatakan, pengelolaan dana haji harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) yang menegaskan ada beberapa hal penting dan harus diperhatikan dalam penggunaan dana haji ini. "Pertama, azasnya berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 34/2014 menyatakan bahwa prinsip penggunaan dana haji harus syariah, kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan, dan akuntabel," jelas Ali Taher, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (1/8).
Kemudian azaz kedua, sambung Ali Taher, pengelolaan keuangan haji itu bertujuan tiga hal. Seperti dalam Pasal 3 UU Nomor 34 Tahun 2014 yaitu, untuk peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, terus rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH. Ketiga, memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat Islam. "Tiga hal itu aspek legalitasnya sudah jelas bahwa ini hanya diperuntukan bagi kepentingan jamaah umat Islam," tambahnya.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan berdasarkan azaz tersebut, sejatinya Komisi VIII DPR RI tidak menolak rencana pemerintah tersebut. Hanya saja pihaknya harus mengedepankan prinsip kehati-hatian, prinsip syariah, dan nilai manfaat.
"Jadi nanti setelah reses, kami akan mengajukan dalam rapat paripurna kepada Pimpinan DPR, untuk bisa menempatkan posisi mitra kerja BPKH pelaksana dan pengawas," terangnya.