Selasa 01 Aug 2017 12:52 WIB

Greenpeace: Stasiun Pemantau di Jakarta Kurang Memadai

Rep: Sri Handayani/ Red: Agus Yulianto
Aktivis membagikan masker disela peluncuran aplikasi pemantau kualitas udara UdaraKita dari Greenpeace di Jakarta (Ilustrasi)
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Aktivis membagikan masker disela peluncuran aplikasi pemantau kualitas udara UdaraKita dari Greenpeace di Jakarta (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Walau mengakui adanya penurunan kualitas udara di Jakarta, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan DKI Jakarta menilai kondisinya tak sesuai dengan apa yang dipaparkan Greenpeace Indonesia. Dinas LHK juga mengatakan, data itu masih diragukan tingkat akurasinya terkait alat pengukuran yang digunakan.

Menanggapi hal tersebut, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan, perdebatan soal alat sudah lama terjadi. Menurut dia, alat yang dipakai telah dikomparasikan dengan alat yang lebih saintifik. Hasilnya 98 persen konsisten.

"Artinya angka alat yang kita pakai ini bacaannya akan sama dengan alat pemantau yang lainnya," kata Bondan saat dihubungi Selasa (1/8).

Dia mengatakan, alat itu dapat digunakan untuk mengukur polusi udara, baik dengan standar PM 10 maupun PM 2.5. Seharusnya, tidak ada perbedaan antara udara dihirup baik di dalam maupun luar ruangan.

Jika Dinas LHK masih meragukan data tersebut, dia menantang, untuk melakukan pengukuran di lokasi yang sama. "Kita cek nanti hasilnya sama atau tidak," kata dia.

Bondan menilai, stasiun pemantau yang dimiliki oleh Dinas LHK, saat ini, belum mencukupi. Dinas itu baru memiliki lima stasiun pemantau untuk memonitor kondisi udara di Jakarta. Kelima stasiun itu berada di Bundaran HI (DKI 1), Kelapa Gading (DKI 2), Jagakarsa (DKI 3), Lubang Buaya (DKI 4), dan Kebun Jeruk (DKI 5).

"Dengan kondisi DKI jakarta yang beragam dan aktivitas yang bervariasi harusnya dipasang alat pemantau yang bisa mewakili," kata dia.

Bondan menambahkan, ukuran partikel PM 2.5 sangat kecil. Kondisi ini dapat menyebabkan perbedaan kualitas udara dalam jangkauan 100 meter, tergantung dari arah dan kecepatan angin.

Semakin banyak alat pemantau yang dipasang akan sangat membantu untuk memberikan peringatan kualitas udara terkini. "Baru lima itu kurang mewakili," kata Bondan.

Terkait kondisi di Warung Buncit yang kini disebut sebagai daerah terpolusi kedua di Jabodetabek setelah Cibubur, Bondan mengatakan, kondisi Jakarta Selatan yang memiliki relatif lebih banyak RTH dan sedikit industri tak menutup kemungkinan tingginya kontaminasi PM 2.5. Ukuran PM 2.5 yang sangat kecil tidak diserap oleh pepohonan.

Hasil pengukuran PM 2.5 yang tinggi di Warung Buncit juga kemungkinan terkait dengan lokasi stasiun pemantau yang terletak di belakang RS Jantung medical Center (JMC). Rumah sakit biasanya memiliki insenerator untuk membakar bahan-bahan medis.

Kemungkinan kedua, pencemaran juga diperparah oleh kondisi transportasi. Menurut Bondan, PM 2.5 bersifat persistance dan tidak akan hilang, namun berpindah. "Kalau kondisi cuaca sedang tidak ada angin, maka PM 2.5 hanya akan berputar-putar di sana," kata Bondan.

Dia juga tak menampik bahwa pembangunan underpass fly over juga menyumbang tingginya tingkat PM 2.5 di Warung Buncit. "Karena sifat PM 2.5 yang kecil tadi bisa jadi sampai ke lokasi RS JMC. Karena beberapa riset menyebutkan PM 2.5 itu bisa bergerak sejauh 60 km. Itu kenapa presentasi yang saya bikin kemarin ada menyebut PLTU di seputaran Jakarta juga berkontribusi kepada polusi udara jakarta khususnya PM 2.5-nya," kata dia.

Selain berkonsentrasi pada buruknya kualitas udara, Greenpeace Indonesia juga menyoroti longgarnya regulasi tentang itu. Menurut dia, wajar jika pemerintah masih menganggap wajar kondisi udara di Jakarta. Sebab, regulasi nasional menetapkan batas PM 2.5 dalam 24 jam adalah 65 mikrogram per meter kubik. Padahal, standar WHO adalah 25 mikrogram per meter kubik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement