REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak mengaku telah berdiskusi dengan Novel Baswedan dan membahas pernyataan Kapolri setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Dalam diskusi itu, ada dua poin penting yang menjadi perhatian dan perlu disampaikan kepada masyarakat.
Poin pertama, terkait dengan keinginan Kapolri untuk melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi satu tim bersama, dalam penyidikan pengungkapan kasus penyerangan terhadap Novel. Kata Dahnil, Novel menduga Kapolri memiliki bukti dugaan ada suap atau korupsi yang melibatkan pihak oknum kepolisian. Sehingga harus melibatkan KPK dalam satu tim untuk membongkar kasus penyerangan terhadap Novel.
"Karena, bila tidak ada kasus korupsi, maka permintaan Kapolri membentuk tim bersama dengan KPK, keliru. Karena bukan tupoksi KPK menangani kasus terorisme atau kekerasan seperti yang Novel Baswedan alami," jelas Dahnil, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (1/8).
Kemudian poin kedua, terkait dengan penolakan Kapolri terhadap pembentukan, tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang independen yang diusulkan kepada Presiden. Dahnil mengatakan, menurut Novel, seharusnya dengan adanya tim independen yang kredibel, Kapolri dibantu untuk menghadirkan kepercayaan publik. Karena bisa ditemukenali proses "ganjil" dalam penanganan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan ini.
"Objektifitas dan kualitas pengusutan, akan semakin baik dan Kapolri terbantu untuk mempercepat pengungkapan kasus ini sesegera mungkin," tambahnya.
Sehingga dengan adanya tim independen, sambung Dahnil, bisa melakukan evaluasi terhadap kinerja aparatur kepolisian. Oleh sebab itu, agak aneh apabila penolakan keras dilakukan oleh Kapolri. Padahal TGPF sejatinya membantu kualitas kerja beliau dalam penanganan kasus Novel Baswedan.