Ahad 30 Jul 2017 16:49 WIB

Bakti Sosial PMB 1968 dan RS Pertamina di Cirebon

Rep: priyantono oemar/ Red: Karta Raharja Ucu
Perwakilan pasien yang menerima bantuan medis berupa operasi gratis: katarak, hernia, bibir sumbing, dan sunatan massal.
Foto: priyantono oemar/ Republika
Perwakilan pasien yang menerima bantuan medis berupa operasi gratis: katarak, hernia, bibir sumbing, dan sunatan massal.

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON – Ratusan warga di Kabupaten Cirebon dan sekitarnya mengikuti operasi gratis di RS Pertamina Cirebon, Sabtu (29/7). Operasi gratis yang digelar adalah operasi hernia, katarak, bibir sumbing, dan sunatan massal.

"Kegiatan ini dibiayai dari dana CSR Pertamina melibatkan Angkatan 1968 Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB),’’ ujar Direktur Utama RS Pertamina Cirebon Richard H Senduk.

Vice President Manage Care PT Pertamedika Indonesia Healthcare Corporation (IHC), Sunarjo, mengatakan kegiatan sosial RS Pertamina berupa operasi gratis selama ini dilakukan dengan memanfaatkan dana CSR Pertamina dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. PT Pertamedika IHC merupakan perseroan yang membawahi rumah sakit Pertamina dan rumah sakit BUMN lainnya.

Untuk kelancaran kegiatan ini, kata Richard, ia melibatkan dokter-dokter mata dari RS Cicendo Bandung. Ia juga melibatkan dokter-dokter dari RSPAD Gatot Subroto Jakarta, dan tentu saja para dokter RS Pertamina Cirebon.

Menurut Raisis Panigoro dari Panitia 50 Tahun Angkatan 1968 PMB, mereka terlibat dalam kegiatan ini sebagai rangkaian kegiatan 50 Tahun Angkatan 1968 PMB yang puncaknya akan dilakukan pada 2018. Dokter Madjo Subandiono mantan dirut PT Pertamedika yang juga anggota Angkatan 1968 PMB mengatakan, mereka juga terlibat dalam penyuluhan kesehatan. "Apa yang bisa kita lakukan, kita lakukan di mana pun yang bisa kita jangkau," ujar mantan ketua tim dokter kepresidenan itu.

Anggatan 68 Perhimpunan Mahasiswa Bandung (Foto: Priyantono Oemar/ Republika)

Subandi (45 tahun) tergagap ketika diminta tampil di panggung. Mengenakan kemeja dan sarung, Subandi berdiri di depan mikrofon. Satu tangannya memegang mikrofon dan hadirin sedang menunggu kalimat yang akan meluncur dari mulutnya.

"Ndak bisa," ujar Subandi, dengan logat Jawa ngapak. Ia hanya nyengir-nyengir saja di panggung. Hadirin tertawa dibuatnya.

Panitia memandu agar ia memberikan kesaksiannya sebagai pasien operasi hernia, ia tetap bilang tidak bisa. "Terima kasih Pak," jawab dia, tetap nyengir, yang lagi-lagi membuat hadirin tertawa.

Ia pun turun dengan jalan tertatih. "Operasinya sudah dilakukan Jumat kemarin," ujar Kusnia, istri  Subandi, kepada Republika.co.id, Sabtu (29/7).

Subandi mengaku sebagai kuli panggul di desanya, Desa Wanakaya Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon. Ia sudah tujuh tahun menderita hernia, tapi tak pernah mau ke dokter. Memanggul gabah membuat hernianya semakin parah.

"Yang ia pikirkan anak-anaknya, kalau operasi berarti harus berhenti kerja, mau makan apa anak-anaknya nanti," ujar Kusnia. Subandi-Kusnia memiliki tiga anak.

Tetapi akhirnya Subandi menuruti bujukan istrinya untuk bersedia dioperasi. "Saya yang menggantikan sebagai kuli panggul nanti," ujar Kusnia.

Subandi menjadi salah satu pasien dari ratusan pasien yang mengikuti operasi gratis di RS Pertamina yang berlokasi di Desa Klayan, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon, itu. Pasien barasal dari Kabupaten Cirebon dan sekitarnya. Rotiah misalnya, jauh-jauh datang dari Desa Ranegan Wetan, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka bersama 10 warga lainnya. Mereka menyewa angkutan dengan biaya Rp 100 ribu per orang.

Ia dan 10 warga lainnya yang datang bersamanya dari Ranegan Wetan akan ikut operasi katarak. Jumat, mereka datang ber-14, untuk medical check up. "Tiga warga tidak bisa ikut operasi hari ini karena ada yang darah tinggi dan diabetes," ujar Rotiah.

Wartem dari Desa Sumberkulon, Jatitujuh, Majalengka, datang dengan rombongan lebih banyak lagi. Ada 30 orang, semuanya mengeluhkan katarak. Setelah medical check up, yang fisiknya siap ikut operasi hanya 13 orang. "Kami bekerja di sawah, mata sering kena daun padi ataupun daun tebu," ujar Wartem menduga penyebab kataraknya.

Wartem mengaku masih ringan kataraknya. Demi berbagi kerja di rumah, ia mendahulukan ibunya, Daniah, yang ikut operasi katarak.

Tina, warga Desa Kalibaru, Plered, Kabupaten Cirebon, datang mengantar ibunya, Turini, juga untuk operasi katarak. "Kami buruh batik di Plered, kerjanya memberi warna pada kain baik, sehari dapat delapan lembar dengan upah Rp 5.000 per lembar,’’ ujar Tina, usai mengikuti penyuluhan kesehatan yang menampilkan pembicara dokter Mardjo Subandiono. Tina menduga pekerjaan memberi warna batik sebagai penyebab katarak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement