Ahad 30 Jul 2017 01:03 WIB

Kecantikan yang dalam dan Suram

Harri Ash Shiddiqie
Foto: dok.Istimewa
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)

Pengkhianatan terjadi kapan saja.  Bahkan bisa tak di duga meski dari kekasih tercinta,  William Shakespeare  mengatakan dalam Cymbeline,  sandiwara  yang penuh tipu daya, cinta dan kejahatan, bahwa “ Sumpah seorang pria adalah pengkhianat wanita”.  Semua tahu, khianat  selalu ada di mana-mana, di urusan rumah tangga, sepak bola, sampai urusan bangsa.

 

Di dunia modern tolok ukur pengkhianatan  menjadi relatif, itu karena sesembahan yang beragam, akibatnya kebenaran juga beragam.  Edward Snowden  misalnya, membongkar praktek yang dilakukan lembaga keamanan negaranya yang menyadap pembicaraan seluruh rakyat. Tentu, aparat pemerintah mencari Snowden, dianggap berkhianat, hendak diajukan ke pengadilan. Tapi bagi  pembela kebebasan berbicara, Snowden itu pahlawan, menurut mereka negara melakukan pelanggaran,  menyerobot kebebasan dan privasi. Sampai hari ini perdebatan terus berlangsung, Snowden itu pahlawan atau pengkhianat?

Khianat pasti dilakukan oleh orang-orang munafik, tapi juga dapat dilakukan langsung dengan  deklarasi  diri menentang penguasa,  ini memberontak. Tidak perlu menjadi munafik, langsung menyerang,  lalu menang atau kalah.  Lenin melakukannya di negeri bernama Rusia, 1917 ia melecut revolusi Bolshevik.  Menang, lalu berkuasa.

Tahun  1924   Lenin  meninggal. Penerusnya adalah teman revolusi, Stalin.  Dalam perjalanannya Stalin merasa muncul ide-ide penentangan dari teman seperjuangannya bernama Trotsky, ia mengusirnya. Tahun 1928 Trotsky pergi ke Turki, ke Prancis, Norwegia dan akhirnya  1937 ke Meksiko.  Selama itu di Uni Soviet diadakan beberapa kali persidangan mengadili pendukung Trotsky, yang di antaranya dihukum mati.  Pengadilan itu pula menuntun Uni Soviet memburu Trotsky. 

Beberapa  usaha pembunuhan secara terorganisir gagal.  Dikirim seorang agen rahasia beridentitas palsu sebagai warga negara Kanada,   R. Mercader,  yang berhasil berpacaran dengan asisten  Trotsky.  Mercader amat lihai sehingga sesekali bisa leluasa ngobrol, berdiskusi, bersimpati kepada Trotsky di rumahnya. Pembunuhan tak terhindar lagi, suatu hari di tahun 1940 Trostky di hantam Mercader dengan kapak es, keburu diketahui penjaga  Trostky memang tidak langsung mati, tapi hanya bertahan sehari.  Stalin menang, Trostky kalah, dan agen Mercader yang bermanis-manis dengan sang asisten cantik tapi membunuh tuannya. Khianat ?

***

Khianat orang munafik selalu licin,  lihai, licik, culas,  sehingga ada yang menyebutnya  sebagai  wajah dengan kecantikan yang dalam, kecantikan yang suram.  Mungkin ia memang serigala lalu berpakaian domba,  mungkin dulunya ia memang domba kemudian bermutasi menjadi serigala.

Dulu,  munafik selalu menyembunyikan wajah kelamnya.  Ia cantik, menyenangkan,  karena bulunya domba.  Di jaman ini, tidak. Melalui akrobat, mutasi benar-benar mengubah sang domba menjadi  buas.  Lihat negeri besar, negeri kapitalis  manapun, politik luar negerinya lantang bicara kebebasan dan  persamaan hak, berakrobat  kata-kata ia tak rikuh menyokong Israel yang menindas di tanah Palestina.  Dengan akrobat bahwa Irak menyimpan senjata pemusnah massal, di dukung Inggris, Amerika menyerang Irak tahun 2003.  Akrobat konspirasi  juga mewarnai dunia.

Buku Hillary Clinton “Hard Choiced” menyatakan tentang negeri besar yang berkonspirasi sampai terbentuk  ISIS.

Dalam peristiwa Stalin, Trotsky dan Mercader,  siapa yang berkhianat, siapa yang munafik,   tak perlu dipersoalkan. Seperti telah dikatakan di depan, dunia hari ini banyak yang setuju bahwa kebenaran itu  relatif. Konsep itu mengantarkan tindakan  bisa benar, bisa salah.  Sepanjang tak ada hukum yang  dilanggar, tak ada polisi yang mengejar, maka akrobat itu sah, munafik itu baik, khianat itu wajar.

Dosa?  Lupakan saja. Hidup hanya di dunia. Itu diteguhi siapa pun yang  berusaha menumpuk apa saja dengan berbagai cara,  pengusaha akan menekan upah di bawah layak,  para produsen beriklan bohong tentang produknya,  hiburan yang menjual syahwat, dan para pedagang yang mengatur dan menyuap  guna mendapat konsesi.

Itu juga diyakini para politikus kelas kakap atau teri,  di negeri maju atau terbelakang.  Para politikus  rasial, liberal maupun yang berlandaskan religius. Agar bisa menang, agar bisa berkuasa.  Mereka melakukan akrobat  kecantikan yang kelam, khianat, kemunafikan.

***

Islam menentang kebenaran relatif.  Menyatakan adanya kebenaran mutlak, Alquran, yang membedakan dengan jelas antara kebatilan dan kebenaran. Siksaan bagi munafik lebih berat dari orang-orang kafir, diletakkan di dasar neraka, di dekat sumber api.  Susahnya, dan justru di sini letak celakanya,  seorang Muslim sering tidak menyadari apa yang dilakukannya adalah tindakan munafik .  

Banyak ayat Alquran yang membicarakan kemunafikan, salah satunya surat An-Nisa 60 -62. Mengabadikan kisah di jaman Rasulullah tentang muslim yang berselisih dengan seorang Yahudi.  Yahudi  menghendaki agar perselisihan diselesaikan oleh Nabi Muhammad, tetapi si muslim malah membawa persoalan itu kepada  orang lain,  seorang musyrik di Juhaimah.   Pada ayat 61  Allah menyatakan dengan tegas kemunafikannya, karena ia telah menghalangi sebuah proses Islami. Di ayat berikutnya, orang-orang munafik itu berkata  dengan kokoh bahwa apa yang dilakukannya  demi kebaikan.

Tindakan munafik ada yang disadari si pelaku, tapi bisa juga tidak disadari.  An-Nisa  ayat  61 menunjukkan titik kritis, hanya karena tindakan “kecil” dengan “membelokkan” penyelesaian pertikaian, Allah menyebutnya sebagai  menghalangi Islam.  Allah memvonis sebagai orang munafik, yang mungkin tidak disadari pelaku.

Semoga itu tidak terjadi pada kita,  dengan berdoa, “Ya Allah, tunjukkan kami jalan yang lurus.   Bersihkan kami dari nifaq, riya, dusta, dan pengkhianatan.” Amin .

*) Penyuka sastra dan teknologi, di Jember.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement