Jumat 28 Jul 2017 19:55 WIB

Keganjilan Kasus Novel Menurut Ketum PP Pemuda Muhammadiyah

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar (kiri) berfoto bersama Novel Baswedan dan aktivis Kontras, Haris Azhar.
Foto: Twitter/@Dahnilanzar
Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar (kiri) berfoto bersama Novel Baswedan dan aktivis Kontras, Haris Azhar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menyatakan keheranannya terhadap Polri yang sampai saat ini belum juga menemukan pelaku penyerangan penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Hari ini merupakan hari ke-108 sejak Novel diserang dengan air keras.

Pada awalnya, Dahnil mengatakan, Novel dan termasuk dirinya berkeyakinan polisi akan mampu dengan cepat dan mudah mengungkap teroris yang menyiramkan air keras kepada Novel. Keyakinan itu merujuk pada kehebatan kepolisian mengungkap kasus-kasus rumit terorisme di beberapa tempat di Indonesia.

"Nah, dengan kapasitas yang luar biasa seperti itu agaknya ganjil bila kasus Novel ini sampai dengan 108 hari saat ini, belum menemukan pelaku dan aktor teror tersebut, apalagi banyak statement petinggi Polri bahkan Kapolri sendiri yang menyatakan kasus ini sulit diungkap," kata dia melalui keterangan pers yang diterima, Jumat (28/7).

Padahal, lanjut Dahnil, sebagai penyidik, Novel paham betul bagaimana kasus yang sulit dan bagaimana yang tidak secara teknis penyidikan. Kecuali, kasus itu dinyatakan sulit diungkap bila diduga terkait dengan mereka yang sangat berpengaruh, berkuasa atau pemilik senjata.

Terlebih, sebelum penyerangan terhadap Novel, memang sudah banyak operasi intelijen mengawasi Novel dan penyidik lainnya. Bahkan, salah satu petinggi Polri menyatakan mengirim tim untuk mengamankan Novel seperti disampaikan kepada Novel sebelum peristiwa penyiraman, yang kemudian digantikan oleh tim lainnya.

"Artinya, intelijen kepolisian bekerja dengan baik saat itu. Jadi, agak ganjil bila kemudian teror penyiraman air keras subuh 11 April 2017, terhadap Novel tersebut terlewatkan dari pengawasan intelijen kepolisian," kata dia.

Belum lagi, keganjilan-keganjilan dalam proses penyidikan. Misalnya, sidik jari di gelas yang hilang, dengan pernyataan yang berubah-ubah dari pihak kepolisian terkait itu. Selain itu, tiga saksi kunci yang merupakan 'mata elang' kemudian malah dibebaskan karena dinyatakan memiliki alibi yang kuat dan lain sebagainya.

"Kami temukan bahwa ada 'konflik' di dalam KPK terkait banyak hal, salah satunya, upaya menghilangkan barang bukti terkait kasus tertentu yang bisa menjerat orang berpengaruh dan berpangkat tinggi, yang bisa jadi diduga ada kaitannya dengan teror penyiraman air keras terhadap Novel," ucap dia.

Dalam keadaan demikian, Dahnil menambahkan, kawan-kawan Pemuda Muhammadiyah, Kontras, LBH Jakarta, dan lainnya yang melakukan pencarian fakta terkait kasus ini, membuat kesimpulan sementara dengam diperkuat pernyataan Novel. Bahwa, ada dugaan keterlibatan perwira kepolisian dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan ini.

Dugaan itu tentu harus dibuktikan melalui proses hukum yang adil dan jujur. "Terus terang kami termasuk Novel, berangkat dari fakta selama ini, kurang percaya pihak kepolisian mau mengungkap kasus ini, apalagi bila terkait dengan dugaan internal kepolisian terlibat," ujar dia. Karena itu, menurut Dahnil, pilihannya adalah mendorong Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diisi para pihak yang independen dan kredibel, yang langsung dipimpin oleh Presiden.

"Kenapa Presiden? Karena secara langsung kepolisian di bawah Presiden. Kami tidak kaget bila kepolisian menolak dibentuknya TGPF, maka kami meminta kepada Presiden untuk membentuknya," tutup Dahnil.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement