REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrat tetap berharap president threshold dihapus. Bahkan mereka akan terus berjuang hingga akhir. Menurut Politikus Partai Demokrat, Didik Mukrianto, apabila presidential threshold 20 persen dipaksakan, maka Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu akan kehilangan pengakuannya, baik secara yuridis, politis maupun sosiologis.
Tidak hanya itu, kata Didik, akan mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas demokrasi Indonesia. Salah satu efeknya adalah secara politis akan membatasi hak konstitusional Partai Politik (Parpol)peserta Pemilu 2019 mendatang.
"Sejak awal kami menganggap presidential threshold tidak relevan untuk dilakukan pengaturan dalam RUU tersebut. Ini akan pengaruhi kualitas demokrasi kita," jelas Didik, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Rabu (26/7).
Selain dapat mempengaruhi kualitas demokrasi, kata Didik, penerapan presidential threshold 20 persen juga dapat menabrak norma dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal putusan MK adalah mengharuskan Pemilu 2019 dilaksanakan serentak antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
"Secara sosilogis juga presidential treshold membatasi hak konstitusional warga negara yang bisa berpotensi kepada rendahnya partisipasi warga negara dalam Pemilu," kata Didik.
Sebelumnya pada sidang Paripurna Kamis (20/7) keputusan diambil setelah empat fraksi yang memilih RUU Pemilu dengan opsi B, yaitu presidential threshold 0 persen, melakukan aksi walk out. Walhasil DPR RI melakukan aklamasi untuk memilih opsi A, yaitu presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR RI. Itu karena peserta rapat paripurna yang bertahan berasal dari enam fraksi yang menyetujui opsi A.