REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin menanggapi wacana desakan mundur bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bergabung dengan Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurut Din, apabila kebijakan setelah membubarkan HTI ini melebar, hal itu menjadi pemikiran dan tindakan yang tidak bijak.
"Itu kebijakan yang eksisif melampaui batas, kita ingatkan, satu jangan kemudian merambah ke mana-mana, mungkin ada Ormas lain nanti ya seperti ada anggota pendukung, simpatisan jangan lupa ini berhubungan dengan pikiran," tutur Din di Jakarta, Selasa (25/7).
Din menjelaskan kasus ini berhubungan dengan ideologi. Ideologi pikiran tidak bisa dibunuh. "Kalau dibunuh oke secara formal bisa mereka akan mencari cara hidup kembali. Tapi bukan dengan cara yang refresif otoriter karena sedang memegang kekuasaan," katanya.
Petinggi PP Muhammadiyah itu mengaku cenderung mengusulkan agar pemerintah termasuk pembantu-pembantu presiden untuk mengedepankan dialog, pendekatan yang dialogis yang persuasif. Pemerintah harus mampu meyakinkan Indonesia negara Pancasila.
"Jadi kan bagus ada narasi tentanng khilafah tentang politik yang mondial itu sepi dari wacana-wacana seperti Bung Karno dulu anti nepoliem. Maka sekarang ada anak-anak muda yang tertarik walaupun selesainya tetap dalam negara Pancasila yang berdasarkan NKRI yang berdasarkan Pancasila," katanya.
Sebelumnya Mendagri Tjahjo Kumolo menyebut PNS terbukti anggota HTI dipersilakan mundur dari tugasnya. Sementara Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) M Nasir juga diketahui akan mengumpulkan para rektor untuk membahas masalah ini. Nantinya, para dosen yang berstatus sebagai PNS akan diminta untuk meninggalkan organisasi HTI jika memang terlibat dalam Ormas yang telah dibubarkan pemerintah tersebut.