Ahad 23 Jul 2017 00:26 WIB

Kita Bersama Al Aqsha!

Tampak peziarah yang sedang berjalan menuju Masjid Al Aqsa
Foto: ROL
Tampak peziarah yang sedang berjalan menuju Masjid Al Aqsa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Farhan Abdul Majiid *)

Dalam hukum perang manapun, kita semua telah sepakat untuk tidak mengganggu rumah ibadah dari agama manapun. Apalagi dalam hukum perang dalam Islam, tanaman pun tak boleh untuk dirisak, lebih lebih rumah untuk beribadah.

Di Yerussalem, hal tersebut tampak tidak terjadi. Tanah yang dipersengketakan tiga agama, Yahudi, Nasrani, dan Islam, justru dipertontonkan penabrakan hukum perang tadi. Hari ini, Masjid Al Aqsha ditutup secara sepihak oleh otoritas keamanan Israel. Kegiatan beribadah seperti shalat lima waktu dan shalat Jumat, dilarang untuk dilaksanakan di masjid tersebut. Penutupan ini pun memicu kemarahan umat Islam dari berbagai penjuru dunia.

Ditutupnya Masjid Al Aqsha ini menjadi yang pertama kali sejak aneksasi tanah Palestina oleh Israel dalam Six Days War tahun 1967. Perang itu, pun sebenarnya adalah salah satu dampak dari rivalitas dua blok selama Perang Dingin. Berpecahnya kekuatan Islam terutama di Timur Tengah telah menjadikan dukungan terhadap Palestina menjadi terpecah. Situasi itu terus berlanjut hingga kini.

Sejarah panjang Masjid Al Aqsha

Masjid Al Aqsa merupakan tempat suci bagi umat Islam. Ia menjadi kiblat pertama umat Islam. Di Masjid Al Aqsha pula, Nabi Muhammad berhenti untuk melaksanakan shalat ketika peristiwa Isra dan Mi’raj. Tanah Yerussalem sendiri, sudah sejak dahulu disebut negeri para Nabi. Pertanda bahwa negeri itu termasuk salah satu tanah yang diberkahi.

Pada saat kekuasaan di tanah Yerussalem berada dalam naungan Islam, dapat dibuktikan dalam sejarah, tercipta keharmonisan di dalamnya. Umar bin Khaththab yang menaklukkan, sangat menghormati keberadaan rumah ibadah agama lain selain Masjid Al Aqsha.

Wilayah ini pun pernah diperebutkan dalam Perang Salib. Salahuddin Yusuf Al Ayubi dikenal karena ketokohannya dalam menjaga Yerussalem. Pada saat itu, sekalipun umat Islam mengalami kemenangan dalam pertempuran, tentara salib tetap dipersilakan menganut agamanya sendiri. Bahkan konon, diongkosi untuk kembali ke tanah kelahirannya.

Kekuasaan atas Yerussalem pun tetap berada di bawah pangkuan khalifah Islam. Sampai pada akhir masa Dinasti Utsmani, ketika banyak wilayahnya pada awal abad ke-20 direbut paksa oleh Inggris. Dari situlah mulai muncul sengketa berdarah hingga hari ini.

 

Terbukti, ketika pengelolaan tidak berada pada tangan umat Islam, harmoni antara tiga agama di Yerussalem tidak tercipta, bahkan menjadi gejolak yang tak terlihat kapan akhirnya akan tiba.

Pembebasan tanah Yerussalem, khususnya Masjid Al Aqsha untuk kembali pada pangkuan umat Islam menjadi tanggung jawab setiap diri kita.

Situasi terkini

Dalam beberapa hari terakhir, dukungan dari banyak negara mulai berdatangan. Malaysia, seperti yang diberitakan Free Malaysia Today, mengutuk aksi Israel yang menutup Masjid Al Aqsha. Cina, seperti yang diberitakan Republika pun menyatakan dukungan untuk Palestina. Indonesia sendiri, secara resmi telah mendukung kemerdekaan Palestina sejak masa Soekarno, dan terakhir adalah diselenggarakannya KTT OKI di Jakarta pada tahun 2016 lalu yang fokus membahas isu Palestina.

Berbagai elemen masyarakat pun bergerak. Muncul seruan untuk mengutuk aksi tersebut. Kemarin, Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) mengeluarkan pernyataan sikap. Pada intinya, mereka menyeru bersatunya berbagai elemen bangsa, khususnya umat Islam untuk turut berjuang melindungi Masjid Al Aqsha, sekurang-kurangnya melalui doa yang dipanjatkan.

Persatuan kita

Sebenarnya, untuk membebaskan Palestina, khususnya Yerussalem dan Masjid Al Aqsha, dapat dilakukan oleh siapa pun. Dari sudut pandang umat Islam, sudah jelas bahwa wilayah itu merupakan tempat suci yang harus dilindungi. Dari sudut pandang kemanusiaan, jelas-jelas banyak terjadi penganiayaan terhadap warga Palestina oleh pihak keamanan Israel di sana. Dari sudut pandang hak asasi, penutupan rumah ibadah merupakan hal yang tidak bisa diterima. Masalahnya hanyalah satu, kekuatan untuk membela yang sulit bersatu.

Kondisi kita saat ini banyak disibukkan dengan perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu penting. Sesama negara Arab, baru saja kita saksikan konflik dengan sesamanya yang berujung pemboikotan Qatar. Di Indonesia kita sibuk dengan konflik antara umat Islam dan Pemerintah. Belum lagi ribut-ribut akibat urusan korupsi yang tidak pernah tuntas.

Mungkin benar, kita terlalu senang membela golongan masing-masing sampai melupakan kepentingan bersama yang sebenarnya lebih mendesak untuk diperjuangkan. Kita terlalu sibuk dengan kepentingan kecil yang sesaat, dibandingkan dengan kepentingan bersama yang sebenarnya mendesak.

Entah sampai kapan lagi kita tak merasa, bahwa pembebasan Masjid Al Aqsa merupakan tanggung jawab bersama. Harapannya, tentu kita terus berjuang untuk kemerdekaan Palestina dan pembebasan Masjid Al Aqsha. Sekurang-kurangnya, melalui doa! Itulah senjata kita bersama.

Semoga kita semakin tersadar, bahwa kemerdekaan Palestina dan pembebasan Masjid Al Aqsha adalah persoalan mendasar. Menahan diri dari kepentingan pribadi dan berjuang untuk kepentingan insani, itulah sikap yang harus kita tanam hari ini.

Bagaimanapun, kita tetap bersama Al Aqsha!

*) Kepala Al Hikmah Research Center Forum Studi Islam FISIP UI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement