Kemudian apa yang ditempuh Masyumi melawan kesewenangan itu? Setelah keluarnya keputusan pembubaran tersebut, para tokohnya (termasuk tokoh PSI) banyak yang kemudian dijebloskan ke dalam penjara yang juga dilakukan tanpa pengadilan. Meski diberlakukan tak senonoh mereka tak melakukan gerakan gegabah, misalnya mengangkat senjata. Mereka memilih jalur hukum menggugat melalui pengadilan meski dengan risiko akan dikalahkan karena kasusnya terkait dengan soal politik.
Ini mereka buktikan, pada 9 September 1960 (beberapa pekan setelah terbitnya keputusan pembubaran), PP Masyumi secara resmi memajukan tuntutan ke Pengadilan Negeri Istimewa di Jakarta. Tujuannya untuk membatalkan Keppres No. 200/1960 sebagai tindakan yang oleh Masyumi dianggap melawan hukum.
Dan sebagai responsnya, pada 11 Oktober 1960, keluarlah penetapan Pengadilan Negeri Istimewa di Jakarta yang dalam amar putusannya menyatakan Pengadilan Negeri Istimewa di Jakarta tidak berwenang untuk memeriksa perkara ini.
Atas penetapan pengadilan itu, Masyumi, melalui Kuasa Hukumnya, Mr Mohamad Roem, menyatakan banding. Lucunya sampai Sukarno jatuh, tidak ada putusan banding yang ke luar.
Uniknya lagi, dahulu ketika Presiden Sukarno mengeluarkan Penpres pembubaran Masyumi dan PSI dia sempat berkonsultasi kepada Ketua Mahkamah Agung yang saat itu diketuai Wirjono Prodjodikoro. Saat itu dia mengatakan ‘boleh dibubarkan’.
Tapi kemudian setelah Sukarno jatuh dari singgasana kepresidenannya, pada tahun 1966, ketika Wirjono menjabat sebagai Ketua Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) dia menandatangi resolulusi Munas Persahi yang menyatakan pembubaran Masyumi dan PSI tidak syah.
Jadi itulah kisah pilu Penpres pembubaran Masyumi dan PSI serta Perppu pembubaran HTI yang terbit di hari Rabu!
*Sabar Sitanggang, Mathematics Teacher di ar-Rayhan Publisher.