Rabu 19 Jul 2017 22:21 WIB

Munas IV ABP-PTSI di Bali Terbelah

Wakil Presiden  Jusuf Kalla membuka Munas IV Asosiasi Badan Pengurus Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP-PTSI) di Denpasar, Bali.
Foto: Dok BSI
Wakil Presiden Jusuf Kalla membuka Munas IV Asosiasi Badan Pengurus Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP-PTSI) di Denpasar, Bali.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Musyawarah Nasional (Munas) IV Asosiasi Badan Pengurus Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABP-PTSI) yang diselenggarakan di Hotel Puri Sharon, Denpasar, Bali, terbelah.

Siaran pers Bina Sarana Informatika (BSI), Rabu (19/7) menyebutkan, pada mulanya Munas IV ABP-PTSI yang berlangsung sejak 16-18 Juli 2017 Juli 2017 itu membahas mengenai pengarahan Menristekdikti dan pembekalan dari beberapa Dirjen Kemenristekdikti yang disampaikan oleh keynote speech Wapres Jusuf Kalla, sekaligus membuka Munas IV.

Berdasar jadwal dan susunan acara, Munas kali ini adalah memilih ketua umum periode 2017-2021. Tetapi pada pertengahan proses sidang diwarnai aksi walk out (WO) dari sebagian peserta yang menyebabkan Munas terbelah.

Sebagaimana disampaikan oleh Prof  Dr  Edie Toet Hendratno SH,  Msi, sebagai guru besar di bidang hukum,  terdapat beberapa alasan yang mendasari WO. Alasan itu antara lain, penyelenggaraan Munas IV ABP-PTSI secara nyata dan kasat mata pemilihan  ketua umum sudah tidak sesuai dan cara-cara yang dilakukan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah organisasi sesuai AD/ART.

“Beberapa catatan pelanggaran terhadap AD/ART, yakni masalah keanggotaan dan kepesertaan munas yang jelas-jelas melanggar AD/ART, sehingga peserta yang diundang sangat terbatas, tidak lebih dari 300 yayasan, dibandingkan dengan jumlah yayasan mencapai 4.000,” kata Edie Toet Hendratno.

Ia menambahkan, dari undangan tersebut pun mayoritas merupakan yayasan yang secara nyata pendukung Ketua Umum, sehingga ruang sidang sudah diwarnai kelompok tersebut saja. Selebihnya adalah yayasan yang diundang melalui komunikasi tidak resmi, sehingga kehadiran mereka pun tidak diterima dengan alasan ruang sidang terbatas.

 

Pelanggaran lainnya, kata Edie,  berdasarkan AD terkait jabatan ketua umum dari maksimum dua kali, menjadi tidak terbatas atau bisa dipilih berkali kali, tanpa ada pembatasan. Tanpa mendengarkan pihak-pihak yang berbeda pendapat dengan melakukan tindakan-tindakan yang tidak pantas dan tidak terpuji. “Yakni, menyuarakan suara-suara melecehkan kepada peserta yang berbeda pendapat kepada Ketua Umum Prof Thomas Suyatno yang kepemimpinannya telah tiga periode, lebih dari 12 tahun,” ujar Edie.

Pada awalnya,  saat Ketua Sidang dipimpin oleh Marzuki Alie PhD, situasi sangat kondusif.  Suasana sangat mencair. Semua diberikan kesempatan bicara dan dijelaskan satu per satu secara terbuka. Sehingga,  sidang bisa berjalan dengan lancar. “Walaupun semua peserta menyadari adanya pelanggaran terhadap AD, namun dengan musyawarah untuk mufakat semua peserta Munas menyepakati, sidang dilanjutkan,” tuturnya.

Namun saat kepemimpinan sidang diambil alih oleh Ketua Sidang Wisnu, situasi menjadi berubah. Perlakuan yang tidak adil dari kepemimpinan Ketua Sidang yang melakukan pembiaran kepada kelompok-kelompok pendukung TS serta sedikit sekali memberikan kesempatan kepada mereka yang berbeda pendapat, telah membuat kekecewaan sebagian peserta sidang.

Kekecewaan inilah akhir para peserta sidang ikut walk out, mengikuti sikap Prof Dr Eddie Toet Hendratno. Marzuki Alie PhD, selaku salah satu pimpinan sidang, akhirnya ikut keluar dari ruang sidang. Hal itu  mengingat beberapa kali peringatan yang ia sampaikan  kepada Ketua Sidang tidak diindahkan sama sekali, sehingga merasa tidak ada manfaat lagi dalam memimpin sidang.

Siaran pers itu juga mengemukakan, adapun ke depannya sebagian besar peserta bersepakat membentuk organisasi sejenis, yakni Himpunan BPPTS Indonesia. Organisasi ini lebih partisipatif, kredibel, akuntanbel serta lebih mengayomi yayasan perguruan tinggi swasta yang jumlahnya hampir 4.000 yayasan pendidikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement