REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong menyesalkan langkah terburu-buru pemerintah dalam membubarkan organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hal ini setelah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia resmi mencabut status badan hukum HTI pada Rabu (19/7) hari ini.
"Menurut pandangan saya, pemerintah jangan terlalu cepat mengambil langkah-langkah pembubaran jika belum diketemukan alat bukti yang cukup," ujar Ali di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu (19/7).
Menurutnya, sebagai negara hukum pembubaran ormas dilakukan harus mengedepankan langkah supremasi hukum. Namun, pemerintah dalam membubarkan ormas tersebut hanya berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas. Padahal, kata Ali, Perppu tersebut belum tentu mendapat persetujuan DPR.
"Maka, menurut saya penyelesaiannya harus dengan hukum. Jika HTI saat ini diberhentikan dengan alasan Perppu maka harus dapat persetujuan DPR," ungkapnya.
Ia mengatakan, meski berdasarkan UUD 1945, sejak disahkan Perppu tersebut dibolehkan berlaku, namun ia mengingatkan ormas sesuai dengan UU Ormas Nomor 17 Tahun 2013, memiliki hak hukum. "Jadi memiliki hak untuk untuk melakukan pembelaan dengan cara melakukan praperadilan misalnya dan itu dibolehkan," kata Anggota DPR dari Fraksi PAN tersebut.
Ia juga menilai, pembubaran ormas HTI oleh pemerintah juga tidak bisa hanya dengan pendekatan subyektif. Sebab, sikap pemerintah yang memandang perlu untuk melakukan pencegahan dini dengan membubarkan HTI menggunakan pendekatan subjektif semata.
Sementara pendekatan obyektivitas dikesampingkan. "Jangan sampai ormas yang dianggap tidak pancasilais itu dibubarkan. Pertanyaannya adalah ukuran pancasilais itu apa. Kan sangat subjektif," ungkapnya.