REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengaku siap menggantikan tugas dan peran Setya Novanto sebagai pelaksana tugas Ketua DPR. Hal ini menyusul penetapan Setya Novanto sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, Fadli mengatakan, hal tersebut harus melalui mekanisme-mekanisme tertentu. "Ya kita semua harus siap, tapi kan kita lihat kita rapat dulu," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (13/7).
Menurut Fadli, semua pimpinan lainnya yakni Agus Hermanto, Taufik Kurniawan, dan Fahri Hamzah juga memiliki kesempatan yang sama menggantikan Novanto. Namun, dia kembali menyatakan berkaitan hal tersebut pimpinan DPR akan melakukan rapat terlebih dahulu.
Menurut Fadli, dia belum dapat berkomentar banyak perihal penetapan tersebut karena baru mendengar informasi penetapan tersangka Novanto melalui media massa. Namun, dia menerangkan, Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) telah mengatur ketika ada anggota yang terkait masalah hukum.
Berdasarkan aturan itu, dia menerangkan jika anggota DPR terkait masalah hukum namun belum final atau inkrah maka yang bersangkutan tetap menjadi anggota DPR. Terkait posisi pimpinan DPR, hal itu tergantung dari partai.
Untuk Setya Novanto, tergantung Fraksi Partai Golkar. "Kalau fraksi tetap memberikan keleluasaan kepada pimpinan, dalam posisi pimpinan, saya pikir, tidak ada masalah selama belum inkrah. Kecuali dari partainya mengajukan pergantian," ujar Fadli.
Senin hari ini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Raharjo menetapkan ketua DPR RI Setya Novanto menjadi tersangka kasus pengadaan KTP-elektronik. Agus mengatakan penetapan Setya sebagai tersangka setelah mencermati fakta persidangan dari dua terdakwa kasus KTP-el, Irman dan Sugiharto, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan paket KTP-el tahun 2011 dan 2012 di Kemendagri.
"KPK temukan bukti permulaan yang cukup seorang lagi jadi tersangka. KPK menetapkan saudara SN anggota DPR RI pada 2009 sampai 2011 sebagai tersangka karena menguntungkan diri sendiri dan menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari paket pengadaan Rp 5,9 triliun," kata Agus di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (17/7).
Agus menjelaskan, SN melalui pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang saat ini menjadi tersangka mempunyai peran dalam proses perencanaan serta pengadaan barang KTP-El di DPR. Selain itu, SN melalui AA diduga juga mengkondisikan pemenang barang dan jasa KTP-El.
Sejauh ini, terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto. Irman sudah dituntut tujuh tahun penjara, sedangkan Sugiharto dituntut lima tahun penjara.
KPK telah mendakwa mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani. Miryam didakwa melanggar pasal 22 juncto pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman 12 tahun penjara.
KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut. Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal UU tentang Pemberantasan Korupsi. Sementara Markus Nari disangkakan melanggar pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi.
(Baca Juga: KPK: Setya Novanto Tersangka Kasus KTP-El)