REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPD RI Fahira Idris menilai, kegentingan permasalahan negara bukan pada soal organisasi kemasyarakatan (Ormas). Namun menurut senator asal Jakarta ini, hal yang paling genting adalah soal utang pemerintah Indonesia yang terus menumpuk.
Fahira Idris memandang Undang Undang (UU) No 17 Tahun 2013 tentang Ormas masih memadai digunakan Pemerintah untuk membubarkan Ormas-Ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tentunya melalui mekanisme pengadilan sebagai salah satu ciri negara demokrasi.
Pada Bab Larangan (Pasal 59 ayat 4) UU No 17 Tahun 2013 sudah jelas dinyatakan ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. "Yang punya potensi membuat negeri ini genting adalah utang luar negeri kita yang semakin membengkak, bukan soal aturan Ormas karena undang-undang Ormas yang sekarang masih mamadai," ujarnya di Jakarta, Senin (17/7).
Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, melahirkan banyak kontroversi dan kegaduhan baru. Menurutnya keadaan mendesak dan genting untuk menyelesaikan masalah hukum terkait ormas, tanpa proses pengadilan dengan Perppu dianggap berlebihan. Terlebih melangkahi kewenangan pengadilan sebagai salah satu pilar demokrasi.
Karena itu, ia berharap Presiden fokus saja menyelesaikan soal utang ini. Biarkan menteri-menteri terkait mengurusi ormas-ormas anti-Pancasila dan menyeret mereka ke pengadilan.
Menurut Fahira, yang membedakan negara demokrasi dan bukan demokrasi adalah sejauh mana lembaga peradilan diberi peran dalam menjaga check and balance dari pemegang kekuasaan. Jika negara tersebut demokratis maka lembaga peradilan menjadi aktor kunci menjaga check and balance dari pemegang kekuasaan.
Sehingga akuntabilitasnya terjaga sebagaimana aturan main dari demokrasi. Lembaga peradilan dalam negara demokrasi juga sebagai pemasti agar tidak ada kebijakan pemegang kekuasaan yang melanggar HAM.
Publik pun menurutnya, tidak bisa disalahkan jika menganggap Perppu ini menyemai benih-benih otoriter. Karena sekali lagi dalam negara demokrasi hanya lembaga pengadilan yang paling objektif memutuskan sebuah tindakan itu pelanggaran hukum atau tidak, bukan Pemerintah.
"Oleh karena itu, membubarkan ormas lewat pengadilan menjadi konsekuensi jika bangsa ini ingin tetap teguh memegang prinsip demokrasi," tegasnya.
Terbitnya Perppu ini, lanjut Fahira, menunjukkan rezim saat ini sukanya menempuh jalan pintas dan sporadis dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, walau cara pintas tersebut berpotensi melanggar prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah kita sepakati bersama sejak reformasi yaitu demokrasi.
"Saya harap DPR tidak menjadi stempel Pemerintah dengan menerima Perppu ini. Karena jika masyarakat menggugatnya ke MK dan dikabulkan akan menurunkan wibawa pemerintah dan DPR sendiri. Kita mendukung pembubaran ormas yang bertentangan dengan Pancasila, tetapi harus lewat pengadilan," jelas.