Senin 10 Jul 2017 22:31 WIB

Ini Perkembangan Penyelesaian Insiden di Raja Ampat

 Tim peneliti mendata kerusakan karang yang disebabkan kandasnya Kapal MV Caledonian Sky berbendera Bahama di perairan Raja Ampat, Papua Barat (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Pemda Kabupaten Raja Ampat
Tim peneliti mendata kerusakan karang yang disebabkan kandasnya Kapal MV Caledonian Sky berbendera Bahama di perairan Raja Ampat, Papua Barat (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Masih ingat insiden rusaknya terumbu karang di Raja Ampat, Papua? Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menjelaskan perkembangan penyelesaian insiden rusaknya terumbu karang di Raja Ampat, Papua Barat, akibat kandasnya kapal MV Caledonian Sky.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai yang dihubungi dari Jakarta, Senin (10/7) mengatakan dia telah menerima paparan penjelasan tingkat kemajuan penyelesaian, termasuk perihal ganti rugi. Pigai menuturkan Komnas HAM meminta penjelasan Kemenko Kemaritiman atas peristiwa itu karena sejak kandas pada 4 Maret lalu, kemajuan penyelesaian belum terdengar lagi.

Padahal, lanjut dia, masyarakat setempat ingin berpartisipasi aktif dan mengetahui perkembangan penyelesaian masalah lingkungan yang berdampak pada kegiatan ekonomi mereka. "Masyarakat adat setempat minggu lalu menanyakan (perkembangannya) progresnya, kompensasi ganti ruginya seperti apa. Makanya kami memanggil Pak Luhut (Menko Kemaritiman). Tapi karena beliau ke DPR, yang datang tadi Deputi bidang Kedaulatan Maritim Arif Havas Oegroseno," katanya.

Pigai menjelaskan, dalam paparan yang diterima, pemerintah dan pihak asurasi kapal telah menunjuk Universitas Indonesia dan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk melakukan kajian. Ada tiga aspek yang dikaji, yakni mengenai kerusakan biota laut, kerugian berdasarkan ekonomi masyarakat dan pemerintah daerah serta restorasi atas kerusakan yang terjadi. "Tapi saat ini sedang ada perdebatan terkait nilai ganti rugi. Tak perlu saya sebut angkanya karena itu rahasia," katanya.

Pigai menyebut pemerintah menargetkan penyelesaian ganti rugi bisa selesai dalam dua hingga tiga bulan ke depan. "Kalau tidak juga selesai, pemerintah akan menggugat ke pengadilan," katanya.

Pigai juga berharap adanya kerja sama yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat Raja Ampat dalam penyelesaian kasus tersebut. Menurut dia, adanya aduan masyarakat ke Komnas HAM mengindikasikan bahwa ada masalah konsolidasi antara masyarakat dengan pemerintah.

"Kami harap ada kerja sama yang baik, karena masyarakat mengaku mengalami kerugian dari segi perekonomian, masalah lingkungan dan turunnya potensi wisata. Kami mendorong pemenuhan dan perlindungan HAM dalam kasus ini," pungkasnya.

Luas kerusakan terumbu karang Raja Ampat akibat kandasnya kapal pesiar MV Caledonian Sky pada 4 Maret 2017 mencapai 18.882 meter persegi. Hasil tersebut didapat dalam survei bersama tim pemerintah dan pihak asuransi kapal di kawasan Selat Dampier, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, sejak 19 Maret lalu, dari 22.060 meter persegi luas wilayah yang disurvei.

Dari 18.882 meter persegi itu terbagi dua gradasi kerusakan yang berbeda. Di mana seluas 13.270 meter persegi mengalami rusak total oleh kapal dan 5.612 meter persegi rusak sedang akibat hempasan pasir dan pecahan terumbu karang karena olah gerak kapal.

Terumbu karang yang rusak sedang memiliki tingkat harapan hidupnya hanya tinggal 50 persen. Sehingga apabila mati akan menjadi rusak total dan memengaruhi valuasi penghitungan nilai kerugian yang akan diklaim.

Diketahui bahwa kandasnya kapal Caledonian Sky, Sabtu (4/3), yang dinahkodai oleh Kapten Keith Michael Taylor ini menimbulkan dampak kerusakan terumbu karang yang luar biasa. Parahnya, terumbu karang yang rusak itu berada tepat di jantung Raja Ampat, sebuah pusat keanekaragaman hayati laut.

Selain melakukan gugatan ganti rugi, pemerintah berniat menuntut tanggung jawab kapten kapal yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. Terlebih sang kapten diketahui pernah melakukan pelanggaran di perairan Indonesia, tepatnya di Kuala Tanjung (Sumatra Utara) di mana ia menyandarkan kapal tak sesuai aturan. Pemerintah mempertimbangkan tuntutan pidana sesuai UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk pertanggungjawaban sang kapten.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement